-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 9 Malam di Antara Lampu Taman

Langit malam datang tenang, tanpa hujan, hanya bintang-bintang kecil yang berkelip tajam di atas taman rumah adat. Lampu-lampu gantung di antara pepohonan di halaman telah dinyalakan  lampu kuning lembut yang memantul di dedaunan dan membentuk lorong cahaya di atas rumput hijau yang sudah disapu bersih. Di tengah taman, bangku kayu panjang yang pernah mereka duduk bersama waktu kecil kini kembali menjadi tempat Elsa dan Adit berdua duduk, dalam keheningan yang tak canggung.

Elsa mengenakan sweater rajutan krem, rambutnya tergerai ringan di bahu, dan ia memegang kamera di pangkuannya, tetapi malam ini ia lebih memilih diam daripada memotret. Ia menghela napas ringan, merasakan getaran jarak antara daun dan lampu, antara kenangan dan kenyataan.

 “Kamu ingat waktu kita duduk di sini dulu?” ucapnya pelan, menatap lampu-lampu yang bergoyang pelan diterpa angin malam.

Adit mengangguk, tangannya menopang tubuh di belakang, kakinya menyentuh rumput lembap. “Tentu,” jawabnya. Suaranya lembut, hangat. 

“Waktu itu kita bilang kita akan ulang lagi duduk di sini, lihat senja, dan berbicara tentang impian.”

Elsa tersenyum tipis. “Impian kita dulu rasanya begitu jauh.” Ia menunduk, jari-jarinya memainkan gantungan kayu berbentuk kamera yang ia dapat dari Adit. “Tapi sekarang… aku merasa kita mendapat kembali bagian dari impian itu.”

Adit menoleh. “Bagian yang hilang?” tanyanya.

Elsa mengangkat bahu. 

“Dan bagian yang baru.” Ia menatap Adit. “Malam seperti ini lampu-lampu, taman, dan suara jangkrik semuanya terasa seperti simpul antara lalu dan sekarang.”

Adit menarik napas. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut.

“Ya,” jawab Elsa, meski suaranya mengandung keraguan kecil. 

“Hanya banyak yang berubah. Banyak yang harus aku pertimbangkan.” 

Ia menatap ke arah rumah adat yang remang-remang di malam tadi. Jendela-jendela memantulkan cahaya lampu taman, bayangan ukiran kayu sedikit menari di kaca.

Adit berdiri dan meraih dua gelas teh hangat. Ia menyerahkannya ke Elsa dan duduk lagi di sampingnya. “Teh?” katanya.

“Terima kasih.” Elsa menerima gelasnya, meniup permukaan teh agak dingin, dan meneguk hangatnya. “Kamu sangat perhatian malam ini.” Ia menyipitkan mata. “Apakah ada yang salah?”

“Tidak.” Adit tersenyum dan menggeleng. 

“Aku hanya senang akhirnya kita punya malam seperti ini.” Ia menatap taman. “Setelah semua pekerjaan, semua ukiran dan kayu dan proyek—kita duduk di sini saja.”

Hening menutupi mereka. Dari kejauhan, suara pengeras dari pengeras acara renovasi sudah berhenti, dan taman malam tadi terasa sepi tapi nyaman. Lampu-lampu kecil di ranting bambu bergetar ringan diterpa angin. Rumput bergoyang, dan dedaunan terdengar berdesir tipis.

“Kamu tahu,” kata Elsa setelah beberapa saat,

 “aku belum pernah merasa seperti ini pulang, tapi juga baru.” Ia menatap camera di pangkuannya. 

“Kayak aku tidak hanya kembali ke tempat, tetapi juga ke bagian diri yang lama terlupa.”

Adit mengangguk. “Itu bagus.” Ia menoleh ke Elsa. “Kamu layak merasakan itu.”

Elsa tersenyum, tapi sedikit sedih. 

“Tapi tetap saja… tawaran di kota itu masih ada.” Ia berhenti. “Hari ini aku menerima email—majalah di Eropa menunggu jawaban.”

Adit diam. Cahaya lampu taman jatuh di wajahnya, sorot matanya berubah sejenak. “Kamu serius?” tanyanya lembut.

“Ya,” Elsa meneguk teh lagi. “Tapi aku tidak ingin pergi tanpa menutup sesuatu di sini. Karena ‘di sini’ punya makna yang berubah untukku.” Ia menatap Adit. “Dan punya kamu.”

Adit menyentuh bahunya perlahan. “Apa yang kamu butuh tutup?”

“Aku butuh… memastikan bahwa rumah ini proyek ini terasa seperti ‘kita’.” Elsa menunduk. “Bukan hanya tugas yang kamu bantu dan aku dokumentasikan, tetapi… sesuatu yang bisa kita kenang bersama.” Ia menatap lampu taman. “Dan setelah itu? Mungkin aku bisa mempertimbangkan pergi.”

Hening turun antara mereka. Lampu-lampu taman berkelip, menciptakan bayangan kecil di wajah Elsa. Adit menarik napas dalam. “Aku akan menunggu,” ucapnya. “Untuk kapan pun kamu memutuskan. Tapi… aku berharap malam seperti ini bukan cuma malam mereka berdua.”

Elsa menoleh dan memandang Adit. Matanya berkaca-kaca ringan di cahaya lampu. Ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Aku berharap begitu juga,” gumamnya.

Mereka berdiri, berjalan perlahan ke tepi taman, menyusuri jalan setapak yang dilapisi kerikil kecil. Bunyi langkah kaki mereka di kerikil bergema lembut. Lampu-lampu menyorot jalan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menuntun. Angin malam membawa aroma bunga kembang malam yang merekah, wangi ringan yang menyapa dada.

“Taman ini… aku dulu sering takut malam,” kata Elsa sambil tertawa kecil. “Dulu aku takut kegelapan di antara lampu-lampu gantung ini.” Ia berhenti, melihat sebagian lampu yang berkedip perlahan. “Tapi malam ini kegelapan itu terasa lucu—bukan menakutkan.”

Adit tersenyum. “Karena ada yang menemanimu.”

“Ya,” Elsa mengangguk. Ia berhenti di bangku kayu tua dan duduk lagi. Adit duduk di sisi lain. 

“Kamu tahu… malam ini aku merasa seperti cerita mulai berubah.” Ia menatap langit. 

“Dari cerita ‘saya pulang’ ke cerita ‘kami bersama’. Apakah itu terlalu cepat?”

Adit mengambil tangan Elsa perlahan dan menggenggamnya. 

“Tidak terlalu cepat. Hanya tepat waktu.” Ia menahan tangan itu dengan lembut.

 “Kita bisa mulai cerita baru malam di antara lampu taman ini bisa jadi bab kecil dari kisah kita.”

Elsa tersenyum, matanya menerawang ke lampu-lampu yang menari di langit malam. Ia merasakannya: malam ini, bukan hanya momen romantis, tetapi titik balik. Titik di mana kenangan bertemu impian, di mana ukiran kayu dan lampu taman memantulkan wajah mereka berdua.

“Besok,” kata Elsa pelan, “kita pasang lampu-lampu baru di taman dan aku akan foto semuanya. Aku ingin menangkap malam ini jejak kita di antara lampu.”

Adit mengangguk. “Aku akan bantu. Dan kita bisa selesai proyek ini bersama, lalu kita lihat tawaran itu bersama.” 

Suaranya penuh harap. “Apapun keputusanmu, kita hadapi bersama.”

Malam makin larut. Lampu-lampu taman memudar perlahan, suara jangkrik meningkat, angin semakin dingin. Elsa dan Adit berjalan kembali ke rumah, tangan masih saling menggenggam. Saat mereka melangkah melewati lorong lampu di taman, Elsa menoleh ke Adit: “Terima kasih untuk malam ini.” Suaranya hampir berbisik.

“Untuk kita,” balas Adit.

Mereka memasuki rumah, pintu kayu tua menutup lembut di belakang mereka. Di ruang tamu yang hangat, lampu kuning memperlihatkan ukiran-ukiran kayu di dinding, foto lama mereka kecil tertawa bersama. Elsa menaruh kameranya di meja. Ia menatap foto lama itu dan kemudian menatap Adit yang duduk di seberang.

“Apakah kamu pikir kita bisa benar-benar mulai dari sini?” tanyanya.

Adit menatapnya dalam. “Aku tahu kita bisa.” Ia tersenyum. 

“Malammu di antara lampu taman ini menjadi janji baru.”

Elsa menarik napas panjang dan membiarkan senyum menyebar di wajahnya. Ia merasakan bahwa malam ini bukan hanya tentang lampu dan taman  tetapi tentang dua orang yang memutuskan untuk tidak lagi menunda. Tidak menunda janji mereka kepada rumah, kepada kenangan, dan kepada satu sama lain.

Dan di malam yang tenang itu, ketika semua seakan diam, Elsa tahu: perjalanan masih panjang. Tapi langkah pertama sudah diambil.


Lebih Lengkap:

https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp

0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 9 Malam di Antara Lampu Taman"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel