-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 10 Bisikan Senja dan Rencana Baru

Senja datang perlahan, langit berubah nuansa dari oranye keunguan ke biru lembut. Di halaman rumah adat, pepohonan dan rumput berhenti berjaga saat cahaya makin tipis. Elsa berdiri di teras, tas kamera di bahu, menatap renovasi yang kini hampir selesai  pilar kayu baru telah dipasang, genting diganti, dan taman kecil yang dulu hanya rerumputan liar kini tertata rapi. Ia menarik napas panjang. Suara angin sore menyapu dedaunan, membawa aroma kayu jati yang baru dipernis dan tanah yang masih basah dari semalam hujan.

Adit muncul dari bengkel kayu, mengenakan jaket kerja yang mulai kotor oleh debu kayu, tetapi tatapannya terang penuh pencapaian.

 “Beres hampir semuanya,” katanya sambil menyandar di rangka kayu dekat lampu taman yang belum dinyalakan. 

“Besok kita cek final, lalu dokumentasi malam nanti.”

Elsa tersenyum. “Bagus. Aku sudah nyalakan kamera tambahan untuk malam ini  lampu taman, refleksi kaca, bayangan ukiran…” 

Suaranya menyurut, lalu ia menoleh ke arah Adit. “Dan… aku pikir kita butuh rencana baru.”

Adit mengerutkan alis ringan. “Rencana? Maksudmu?”

“Ya,” Elsa mengambil tasnya, mengeluarkan laptop kecil. 

“Tawaran dari majalah di kota besar. Kalau aku terima, maka aku akan pergi enam bulan. Aku belum memberi jawaban, tapi…” Ia terdiam. 

“Rasa-rasanya ada bagian yang belum selesai di sini. Aku merasa kita—proyek ini dan hubungan kita—masih butuh satu bab lagi.”

Adit menatapnya panjang. Senja semakin dalam, bayang-bayang pilar kayu memanjang di tanah. “Kamu serius mempertimbangkan itu?” tanyanya pelan.

Elsa mengangguk. “Aku serius. Tapi juga… ingin memastikan sebelum aku pergi bahwa rumah ini berdiri bukan hanya sebagai proyek, tetapi sebagai ‘rumah’ dalam arti yang lebih dalam. Bahwa ukiran itu bukan sekadar kayu, bahwa senja ini bukan sekadar waktu, bahwa kita bukan hanya dua orang yang bekerja bersama.”

Adit menghela napas. “Oke,” katanya akhirnya. “Rencana baru… apa yang kau pikirkan?”

Elsa memandang ke arah lampu taman yang belum menyala. “Aku ingin dokumentasi malam ini menjadi acara kecil undang orang desa, tukang kayu, ibuku, beberapa fotografer kota. Kita tampilkan ‘rumah adat ini berubah’ malam ini, lampu taman menyala, ukiran baru dipasang, refleksi di kaca lantai, acara kecil untuk mencatat bahwa ini bukan akhir, tapi awal. Lalu setelah itu… kita lihat tawaran itu. Aku akan tetap di sini, minimal sampai acara itu selesai.”

Adit menunduk, memikirkan. Ia melihat rencana itu sebagai kesempatan, sekaligus tantangan. “Kamu mau acara malam ini sebagai… penanda?” tanyanya.

Elsa tersenyum penuh arti. “Ya. Penanda bahwa senja ini—bisikan senja kita—membawa rencana baru.”

Malam itu, lampu taman dinyalakan perlahan, satu per satu menggantung di ranting bambu, menciptakan lorong cahaya ke bangku kayu panjang di tengah taman. Orang-orang desa berdatangan: ibu Elsa, beberapa sahabat masa kecil, tukang kayu, dan beberapa fotografer yang diundang. Musik gamelan ringan mengalun, tawa bocah-bocah berbaur dengan suara debu kayu yang masih tersisa di udara. Elsa berdiri dengan kamera, mengambil gambar dari sudut ke sudut, tapi matanya terus mencari sosok Adit.

Saat acara mulai, Adit naik ke panggung kayu kecil  panggung yang dulu tak pernah ada  dan menyampaikan sambutan singkat: “Terima kasih kepada semua yang membantu. Rumah ini bukan sekadar bangunan — ia punya cerita. Ukiran-ukiran ini, kayu-kayu ini, senja-senja ini semuanya bagian kita. Dan malam ini adalah penanda bahwa kita akan menjaga cerita ini.”

Elsa berdiri di dekat tepi lampu taman, mendengar kata-katanya, dan merasakan arus hangat di dadanya. Ia menatap Adit dan memperhatikan bagaimana sorot lampu taman menyentuh wajahnya, memantul di matanya yang lembut  gambar yang akan ia simpan dalam jepretannya selamanya.

Acara selesai, orang-orang bergerak ke arah prasmanan, tawa dan canda mengisi udara malam. Elsa dan Adit berjalan ke taman kecil di bagian belakang rumah. Lampu taman manjadi latar sempurna lampu menggantung di ranting, bayangan dedaunan menari di rumput, dan suara gamelan mereda menjadi gemerisik malam.

“Kamu puas?” tanya Adit.

Elsa menatap sekeliling. “Ya. Tapi merasa baru mulai.” Ia menatap Adit. 

“Dan… terima kasih sudah ada di sini.”

Adit tersenyum. “Tidak hanya di sini. Aku akan tetap di sini.”

 Ia meraih tangan Elsa perlahan. “Rencana baru kita… bukan hanya tentang proyek atau rumah. Tapi tentang… kita.”

Elsa menoleh dan mendekat. “Kita?” katanya, suaranya hampir bisikan. 

“Kalau aku menerima tawaran itu, aku khawatir akan kehilangan kita.”

Adit menggenggam tangan Elsa lebih erat. 

“Kita… akan tetap disini, atau bersamamu di mana pun kamu pergi. Tapi aku senang kamu belum menjawab tawaran itu sekarang.”

Keduanya berdiri di bawah lampu taman, tangan bersatup. Senja telah berganti malam penuh bintang, air tanah masih hangat dari hujan semalam. Lampu-lampu kecil di taman memantulkan muka mereka di kaca lantai teras. Elsa menutup mata sejenak dan menarik napas panjang.

“Bisikan senja ini,” ucapnya pelan, “mengajak kita untuk mulai.”

Adit mengangguk. “Mulai dengan rencana, bukan hanya mimpi.”

Ketika malam semakin larut, Elsa dan Adit berjalan kembali ke rumah melalui lorong cahaya lampu taman. Mereka berhenti di depan pintu rumah, dan Elsa menoleh ke Adit. 

“Besok kita mulai proses dokumentasi besar kita foto setiap ukiran, setiap tukang, setiap senja dan pagi. Karena ini bagian dari cerita kita.”

“Aku siap,” jawab Adit. “Dan nanti… kita akan duduk di teras melihat senja bersama. Kita akan… pulang bersama.”

Elsa tersenyum lebar namun suaranya ringan penuh haru. 

“Aku senang kita punya rencana baru.”

Lampu taman menjadi latar, suara jangkrik semakin jelas, dan rumah kayu tua itu berdiri tegak dalam malam. Di antara bisikan senja dan taman lampu, dua hati yang semula hanya sahabat masa kecil kini mulai menjalani peran baru  pelindung warisan dan pembangun cerita.

Dan ketika mereka masuk ke dalam rumah, kamera Elsa tergantung di bahunya, Adit menyentuh gagang pintu kayu tua—kedua tangan mereka penuh tanda debu kayu, penuh ukiran, penuh janji. Malam ini bukan sekadar malam yang indah: malam ini adalah awal dari bab baru.


0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 10 Bisikan Senja dan Rencana Baru"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel