-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 11 Ketika Hujan Membawa Kenangan

Hujan mulai turun perlahan saat matahari belum sepenuhnya tenggelam. Butiran kecil menari-nari di udara, menyentuh genting rumah adat dengan musik lembut. Aroma tanah basah naik, menembus ke dalam rumah melalui jendela yang sedikit terbuka. Elsa berdiri di ambang teras, memandang ke sawah di depan rumah; bayangan‐bayangan pohon dan genting yang dulu tampak kering kini berkilau oleh air. Ia mendengar suara tetesan air dari atap tua tik… tik… tik…—dan seketika hatinya bergetar.

Ia memegang kameranya di dada, tapi untuk beberapa menit ia tidak menjepret satu foto pun. Hujan seperti menghentikan waktu. Ia mengingat saat kecil dulu: ia dan Adit berlari ke halaman ketika hujan pertama kali datang, tawa mereka menyatu dengan suara air yang membasahi tanah. Sejenak, Elsa merasa seperti anak kecil itu lagi—tanpa beban, hanya rindu yang tertuju ke satu teman, satu rumah.

Lalu langkah kaki terdengar dari arah bangsal bengkel kayu. Adit muncul, jaketnya sudah agak basah oleh hujan yang merayap, rambutnya sedikit menempel di dahi. “Hujan menjadi lebih deras,” katanya lembut. 

“Kita pikir malam dokumentasi kita akan cerah, tetapi ini… ah, ini juga punya keindahan sendiri.”

Elsa menoleh dan tersenyum tipis.

 “Ya. Aku tak menyangka hujan datang sekarang.” Suaranya bergetar sedikit. Ia melangkah turun ke halaman, bersama Adit. Rumput licin di bawah sepatu mereka, dan lampu taman belum dinyalakan. Hanya cahaya remang dari rumah dan kilau air yang memantul di pepohonan.

“Lihat,” ujar Adit sambil menunjuk ke sisi belakang rumah, di mana dinding kayu yang baru dipernis basah oleh hujan. 

“Ukiran‐ukiran itu sekarang punya kilau baru.” Elsa mengikuti arah jari Adit. Ukiran di pilar kayu tampak lebih hidup: motif flora yang dulu pudar kini memancarkan rona kayu gelap dan basah, lekukannya tampak lebih jelas dalam cahaya hujan.

Elsa mengambil kamera dan memotret. Tapi kali ini, bukan hanya untuk dokumentasi. Ia ingin menangkap suasana hujan yang datang membawa kenangan. Ia mengambil gambar pilar, tetesan air yang perlahan turun, bayangan Adit di belakangnya. Satu jepretan. Satu kenangan yang terekam.

Mereka berjalan ke taman kecil di halaman belakang. Daun‐daun bunga kembang malam berdiri tegak, ditimpa hujan lembut, dan aroma bunga bercampur dengan aroma tanah basah. 

“Ingat dulu malam saat kita duduk di bangku itu?” tanya Elsa sambil menyentuh kursi kayu yang sudah mulai basah.

Adit mengangguk, menyandarkan tubuhnya di bangku. 

“Aku ingat. Setelah pesta kecil restorasi, kita duduk di sana, lampu taman menyala, dan kita berbicara tentang… kita.” Suaranya berhenti. Hujan makin deras.

 “Malam ini—meskipun hujan—aku senang kita di sini.”

Elsa menghela napas. “Hujan ini… membuat aku ingat banyak hal yang tertinggal. Setengah dari hidupku di kota merasa seperti terlupakan. Tapi saat hujan datang di sini, semuanya terasa kembali.” Ia melihat ke arah sawah, air mengalir di celah-celah tanah, bayangan panjang pepohonan bergoyang tertiup angin hujan. 

“Seperti rumah ini, kita dihidupkan kembali.”

Adit menoleh ke Elsa. 

“Rumah ini… aku selalu anggap sebagai tempat yang menunggu untuk kita pulang. Dan sekarang hujan datang sebagai penanda.” Ia tersenyum lembut. 

“Penanda bahwa kita tidak hanya memperbaiki kayu dan atap, tapi memperbaiki kenangan.”

Mereka duduk berdua di bangku kayu, hujan mengetuk daun bambu di atas mereka seperti tepuk pelan. Elsa merapat ke Adit, jaketnya terasa agak basah di punggung, tapi ia merasa hangat di dalam. Kamera masih di pangkuannya, ia tidak khawatir akan basah karena momen ini lebih penting untuk diingat lewat hati daripada melalui lensa.

Beberapa saat mereka hanya diam. Suara hujan, suara tetesan air di genting, suara daun yang jatuh—semua menyatu menjadi simfoni malam. 

“Els,” suara Adit tiba-tiba. “Apa… kamu siap?” Ia menatap mata Elsa. 

“Siap untuk… memilih.”

Hati Elsa berdebar. Ia menatap hujan yang masih turun perlahan, menetes dari ujung genting. “Aku… belum tahu,” jawabnya jujur. 

“Tawaran itu di kota masih ada. Tapi… hujan malam ini membuat aku menyadari satu hal: rumah ini berarti. Dan kamu berarti.” Suaranya agak parau. “Aku takut jika pergi, aku akan kehilangan bagian dari diri saya.”

Adit menggapai tangan Elsa dan menggenggamnya erat. “Tak apa takut. Aku juga takut. Tapi hujan ini… membuktikan sesuatu. Bahwa kita tetap bisa berdiri di sini—bersama—meskipun keadaan tak sempurna.” Ia menatap rumah di depan mereka. 

“Dan jika kau pergi, rumah ini tetap rumahmu. Tapi kalau kau tinggal… kau punya tempat dan seseorang yang memilih tetap di sana.”

Elsa menunduk, menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Hujan terus turun, dan bayangan lampu dari rumah mulai memantul di genangan kecil di kerikil halaman.

 “Aku tidak mau janji tertunda lagi,” ucapnya pelan. 

“Aku ingin… kita mulai.”

Adit tersenyum, dan di bawah hujan yang lembut, ia menghapus sedikit tetesan air dari pipi Elsa dengan ujung jarinya. “Mulai,” katanya. 

“Kita mulai malam ini.”

Setelah beberapa saat, mereka berjalan menuju beranda rumah. Hujan membuat langkah mereka terbatas, tapi ia membuat suasana menjadi lebih dekat. Adit menggandeng lengan Elsa, dan mereka masuk ke ruang tamu kayu tua. Lampu hangat menyorot ukiran di dinding, suara kayu berderak oleh suhu lembap. Elsa membuka jendela sedikit, membiarkan udara hujan masuk ke dalam ruangan setetes air jatuh ke bingkai jendela dan gelombang kecil terbentuk di kaca.

Ia duduk di kursi kayu dekat jendela, Adit duduk di sebelahnya. Kamera kini diletakkan di meja kecil. Hujan terus mengetuk kaca. Elsa memandang ke luar.

 “Aku ingat dulu aku lari jauh. Aku mencari pameran foto, proyek besar di kota, dunia luas. Tapi kau diam di sini, menjaga semuanya.” Ia menatap Adit. “Dan melihatmu, melihat rumah ini membuat aku sadar bahwa datang kembali bukan berarti kalah. Tapi menyambung.”

Adit mengangguk. “Tidak kalah. Memilih kembali adalah kekuatan.” Suaranya tenang tapi penuh. “Dan kita bisa tetap memilih bersama.” Ia mengulurkan satu kotak kayu kecil ke Elsa.

 “Ini untuk kamu.” Elsa membuka kotak itu. Di dalamnya terkunci sebuah pisau ukir kecil, usang, dan di sampingnya ukiran kayu kecil bergambar senja. 

“Kakekmu ukir ini waktu muda,” kata Adit. 

“Aku menemukannya di loteng. Aku pikir, kita mulai dengan ini.”

Elsa tersentuh. Ia mengangkat ukiran kecil itu, memandangi lekukannya. 

“Senja” gumamnya. “Kau tahu senja selalu membawaku pulang.”

Adit tersenyum. “Maka kita pakai senja sebagai arah. Rencana baru kita—dimulai dari senja, dari hujan malam ini, dari rumah ini.” Ia meraih tangan Elsa lagi. “Siap?”

Elsa menatap ke luar jendela hujan, kemudian ke Adit. “Siap,” jawabnya mantap.

Keluar dari ruang tamu, mereka menuju beranda yang menghadap sawah. Hujan mulai reda, tetesan terakhir menetes dari genting ke rumput, menciptakan bunyi lembut. Lampu taman kini menyala satu per satu, menegakkan lorong cahaya di halaman basah. Mereka berdiri di teras kayu, menghadap sawah yang kini berkilau oleh air hujan. Senja sudah hilang, namun malam ini penuh potensi.

Adit meletakkan lengan di pundak Elsa. “Kita akan dengarkan bisikan senja yang tertinggal di hujan.”

Elsa menunduk, ia merasakan tetesan lembut di rambutnya, angin malam membelai pipinya. “Dan kita akan lukis kenangan baru,” katanya.

Di bawah langit malam yang bersih setelah hujan, dengan rumah adat yang baru dihidupkan kembali dan seorang sahabat yang kini dekat lebih dari sekadar sahabat, Elsa tahu satu hal: kenangan masa lalu membawa mereka ke sini, hujan malam ini membasmi jarak, dan rencana baru telah dimulai.

Lebih Lengkap:

https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp

0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 11 Ketika Hujan Membawa Kenangan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel