Setelah Senja Berlabuh Bab 8 Jejak Ukiran dan Kenangan
Sinar pagi menembus jendela kaca patri rumah kayu dengan lembut, menari di pola ukiran kayu kusen jendela dan dinding yang mulai dipernis ulang. Elsa bangun lebih awal dari biasanya bukan karena harus mengejar proyek, melainkan karena rasa ingin tahu yang menggelitik: ukiran-ukiran tua yang kini berada dalam proyek restorasi berjalan lambat tetapi pasti, membawa banyak cerita yang menunggu untuk dibangkitkan.
Di ruang kerja bengkel kayu, aroma kayu jati dan serbuk halus menyelimuti ruangan. Panel-panel kayu yang dulu tersembunyi di loteng kini berjajar rapi di meja panjang: bingkai jendela, kusen dengan motif flora yang melingkar, panel pintu dengan lekuk-lekuk geometris yang khas. Elsa berdiri di depan satu panel, jari-jarinya menyusuri lekukan yang halus dan tertutup debu, seolah meraba masa lalu.
“Lihat ini, Els,” suara Adit di sampingnya.
“Motif ini ukiran sumbernya dari generasi kakekmu. Dulu rumah ini punya empat panel dengan motif ini.”
Dia menunjuk ke bagian atas panel. “Kita masih punya dua panel asli. Dua lainnya hilang atau rusak.”
Elsa mengangguk, mata terfokus pada motif kayu.
“Aku tidak tahu aku tak pernah memperhatikan detail ini waktu kecil. Aku selalu tergoda ambil foto lanskap, senja, sawah. Tapi detail seperti ini ukirannya, tekstur kayu, keragaman motif jarang terpikir.”
Adit tersenyum tipis.
“Itulah yang kamu lakukan sekarang. Menangkap hal yang dulu kamu abaikan. Itu bagus.”
Hening sebentar. Suara alat ukir berhenti di sudut ruangan ketika para pengrajin beristirahat sebentar. Sebuah lampu gantung temaram memantulkan bayangan panel kayu panjang di lantai. Elsa mengambil kamera dan memotret motif kayu yang diterangi sinar pagi. Klik. Klik.
“Aku ingin koleksi foto bagian ini… dokumentasi proses, memang, tapi juga kisah di baliknya.”
Adit mengangguk, lalu mengajak Elsa keluar ke halaman rumah. “Mari kita cek bagian belakang yang baru kita bersihkan. Loteng nanti.”
Mereka berjalan melewati pekarangan, rumput hijau basah oleh embun, aroma kayu dan tanah basah setelah hujan semalam masih tersisa. Di pojok pekarangan, sebuah kerangka kayu besar bekas atap bocor yang sudah dibongkar menunggu pengganti.
“Kami akan mulai minggu depan,” ujar Adit. “Dan aku butuh kamu foto saat tukang memindahkan balok lama ke posisi baru.”
Elsa tersenyum. “Setuju. Kok terasa seperti misi arkeologi saja.”
“Tapi misinya lebih penting,” jawab Adit lembut. Matanya menatap ke rumah tua di depan mereka. “Misi ini tentang warisan, tentang kenangan, tentang rumah yang dihidupkan kembali.”
Elsa menarik napas panjang. Ia merasakan gusti angin sore yang lembut menyapu rambutnya. “Dan tentang kita?” tanyanya sedikit ragu.
Adit berhenti, menoleh dan menatap mata Elsa. Waktu berhenti sesaat.
“Iya… tentang kita juga.”
Saat mereka masuk ke loteng, suara papan kayu berderak pelan di bawah pijakan. Cahaya menembus papan atap yang sebagian diganti, menciptakan pola cahaya-bayangan di ruangan yang penuh panel kayu. Elsa menyalakan senter, dan debu kayu berputar lembut di udara, memantulkan cahaya kecil. “Masih banyak yang mesti dibersihkan,” ucapnya sambil menyapu debu dari sebuah kusen panjang.
Adit berdiri di sampingnya, memegang palu kecil dan catatan kerusakan. “Bagus kalau kamu dokumentasikan ini sekarang. Sekarang artinya sebelum semua dipernis dan terlihat ‘baru’—karena bagian yang rusak dan pudar itu punya cerita tersendiri.”
Elsa menatap kusen kayu yang retak di sudut atas.
“Kita biarkan retak sedikit… atau kita perbaiki semua?” Dia bertanya pelan.
Adit menimbang sebentar. “Aku pikir kita perbaiki fungsinya agar kokoh dan aman tapi kita bisa biarkan bagian retak itu sebagai jejak waktu. Sebuah bukti bahwa rumah ini sudah menahan banyak hujan dan senja dan langkah kaki kita.”
Elsa menatap Adit suara hatinya berdetak pelan. “Jejak yang kita tinggalkan, ya?”
Dia mengangguk. “Ya. Jejak ukiran dan kenangan.”
Kembali di ruang kerja, tukang-tukang mulai bekerja lagi. Elsa mengambil foto proses: tangan yang memegang pahat, serbuk kayu yang menari ketika pahat dipukul ringan, motif kayu yang mulai terlihat kembali setelah dicuci, dan Adit yang berdiri di sudut, memberikan arahan dengan tenang. Ia memotret Adit tanpa sengaja bayangan lampu memantul di wajahnya. Foto itu membuat Elsa berhenti, jari-jarinya tertahan di tombol shutter. Dia sadar: ada sesuatu yang lebih dari proyek ini. Ada rasa yang semakin nyata.
Sore menjelang. Langit mulai berubah warna, matahari beranjak turun. Elsa dan Adit keluar ke teras depan. Panel kayu yang sudah diperbaiki sebagian menunggu dipasang.
“Semua ini akan terlihat bagus malam ini,” kata Adit.
“Lampu taman akan menyala, kamu bisa foto refleksi ukiran di kaca lantai.”
Elsa tersenyum dan mengarahkan kamera ke panel yang dipasang sebagian.
“Aku suka bagaimana kamu memikirkan detail seperti kaca lantai. Itu tidak ada di rencana awal.”
Adit menyandar ke pagar kayu, matanya memandang jauh ke sawah yang mulai gelap.
“Karena detail itu menghubungkan masa lalu dan masa kini. Ukiran kayu, kaca, lampu modern semuanya punya peran.”
Mereka berdiri dalam keheningan yang nyaman. Angin malam membawa aroma tanah basah, suara jangkrik mulai terdengar. Lampu veranda menyala lembut. “Els,” suara Adit tiba-tiba, “terima kasih sudah ikut di sisi ini.”
Elsa terkejut sedikit. “Sisi mana?” tanyanya, suaranya ringan.
“Tidak hanya proyek. Aku maksud sisi rumah ini, sisi kenangan, sisi hidup.” jawab Adit sambil menatapnya dalam.
Elsa menurunkan kamera, menatap Adit. “Aku senang kamu ada di sisi ini juga.”
Malam semakin larut, dan ruang antara mereka terasa hangat. Panel kayu, motif ukiran, senja yang menghilang, semua menjadi latar dari momen yang tak ada banyak kata tapi penuh arti.
Ketika malam semakin pekat, Elsa mengambil satu panel kecil dari meja kerja. Ia membawa ke teras, menatap motif kayu itu di bawah cahaya lampu taman. Bayangan ukiran tampak di lantai kaca di depan rumah sebagai refleksi waktu. Ia menaruh panel itu di pangkuannya, jemarinya menyusuri lekuk yang halus.
“Apakah kamu tahu, ukiran ini dulu dibuat oleh tangan kakek?” ucapnya pelan. “Tangan yang tahu senja, hujan, dan rumah ini.”
Adit duduk di sebelahnya. Ia menyentuh panel kayu ringan. “Itu dulu. Dan sekarang, tangan kita ikut merawatnya.”
Elsa menoleh dan mereka saling menatap. “Aku ingin foto semua ini ukiran, tangan kita, senja yang ikut menyaksikan.”
Adit tersenyum dan mengangguk. “Kita lakukan bersama.”
Ketika malam menyelimuti desa, lampu-lampu kecil di taman menebar cahaya hangat, burung hantu berteriak pelan dari kejauhan, dan suara debu kayu yang masih menempel di ruangan bengkel teringat di telinga mereka. Tapi di antara semua itu, yang paling terasa adalah: Jejak ukiran dan kenangan—yang dulu tertinggal, kini dibangkitkan.
Elsa menarik napas panjang, menatap rumah yang kini tampak hampir selesai direnovasi. Di matanya bukan hanya rumah tua yang akan menjadi baru tapi hidup baru untuk dirinya sendiri. Ia menaruh panel kayu di pangkuannya, dan menatap Adit di sampingnya.
“Sore ini,” katanya, “aku merasa seperti pulang, tapi juga seperti memulai sesuatu yang baru.”
Adit menggenggam tangan Elsa perlahan.
“Ya. Dan aku senang kamu memilih untuk mulai di sini.”
Di bawah langit malam yang mulai penuh bintang, mereka duduk berdua. Panel kayu di tangan Elsa, kamera tergantung di lehernya, dan Adit di sebelahnya. Senja telah pergi, tetapi jejak ukiran dan kenangan tetap tinggal melangkah bersama menuju hari esok.
.png)
0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 8 Jejak Ukiran dan Kenangan"
Post a Comment