-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 7 Janji yang Tertunda


Bab 7  Janji yang Tertunda

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas sawah yang menghampar di belakang rumah adat. Embun menempel di bilah-bilah rumput, di atas genting yang dulu sering dipijaki Elsa dan Adit waktu kecil. Suara langkah kaki kakaknya baru terdengar dari dalam rumah  ibunya sedang menyiapkan sarapan.

Elsa keluar ke teras dengan secangkir teh hangat di tangan. Kamera masih tergantung di lehernya, tapi untuk sesaat ia lupakan tugas dokumentasi hanya ingin menikmati keheningan pagi yang tak pernah ia rasakan selama ia merantau. Langit masih abu-keputihan, dan udara dingin membuat jaket hijau tua yang dipakainya terasa pas.

Tak lama kemudian, Adit datang membawa dua bungkus nasi uduk dan segelas kopi panas untuk Elsa. “Pagi,” sapanya pelan. Mata hitamnya menyiratkan bahwa ia sudah ada sejak tadi. “Temanku dari tukang kayu bilang, ukiran yang kita angkat kemarin malam perlu dibersihkan hari ini sebelum mulai perbaikan.”

Elsa tersenyum. “Baik. Aku baru saja siap.” 

Ia menerima kopi dari Adit dan meneguknya perlahan rasa kopi yang hangat menyebar ke seluruh tubuhnya, membangkitkan semangat untuk hari kerja.

Mereka berjalan bersama melewati halaman, menuju loteng yang mulai dipreteli. Udara desa pagi itu terasa segar, hanya suara burung dan detak langkah mereka yang terdengar. Elsa merasakan keakraban yang nyaman  tanpa banyak kata, tapi mereka tahu apa yang harus dilakukan bersama.

Di loteng, debu kayu beterbangan saat Elsa menyapu panel ukiran dan Adit membantu mengangkat salah satu kusen kayu tua. Kedua tangan Adit kuat, tapi lembut saat ia meletakkan kusen itu di meja kerja. “Kamu tahu,” ia mulai, “aku masih ingat janji kita waktu kecil.”

Elsa berhenti sejenak, sapu di tangannya terlambat berhenti. “Janji?” suaranya nyaris bisikan.

Adit menatap ukiran itu sejenak, lalu menoleh ke Elsa.

 “Waktu itu di bawah pohon mangga, kita berjanji  kalau rumah ini sudah direnovasi, kita akan duduk di teras depan sambil melihat senja bersama. Kita akan…”

 ia tersenyum ringan lalu berhenti. “Kita akan pulang bersama.”

Hati Elsa berdesir. Janji itu lama sekali, sebuah kata yang dulu ia pikir mungkin hanya made-up anak-anak. Tapi sekarang, diantara debu kayu, ukiran kayu jati, dan suara sawah yang menunggu senja, janji itu terasa nyata. 

“Aku lupa… atau mungkin aku sengaja lupakan,” 

jawabnya pelan. “Waktu itu aku ingin pergi dulu.”

Adit mengangguk. “Aku tahu. Kamu punya alasan yang besar dan bagus. Tapi janji itu… tertunda.” Ia menatap Elsa, sorot matanya serius namun penuh kehangatan. 

“Dan aku pikir… kita bisa mulai menepatinya sekarang.”

Elsa menunduk sebentar, menyadari pipinya memerah. Ia mengangkat pandangannya ke ukiran yang sedang dibersihkan. 

“Sekarang… apakah aku sudah cukup pulang?” suaranya lembut.

Adit berdiri, mendekat. “Kamu sudah lebih dari cukup.” Ia menepuk lembut bahu Elsa. 

“Tapi janji itu bukan tentang kita saja. Tentang tempat ini, tentang warisan keluarga kamu, tentang kenangan yang hidup.”

Senja terlihat di matahari sore ketika mereka keluar dari loteng. Pekerjaan hari itu hampir selesai — bagian ukiran sudah dipindahkan ke ruang kerja, panel kayu dikeringkan, cat lama dikupas. Elsa dan Adit berdiri di teras, melihat langsung rumah yang mulai berubah menjadi lebih hidup.

“Aku mendapat pesan dari manajerku di kota,” kata Elsa akhirnya. Suara yang selama ini ia tahan perlahan muncul. 

“Mereka menanyakan konfirmasi untuk tawaran enam bulan di luar negeri.” Ia berhenti, menatap Adit. “Aku belum jawab.”

Adit diam beberapa detik. Angin sore menerpa rambutnya, membuat helaian gelap itu berantakan sedikit. “Kamu akan pergi?” tanyanya tanpa menyembunyikan curiga kecil di suaranya.

Elsa menelan ludah. “Mungkin. Tapi… aku juga tak tahu. Rumah ini… kamu… semua ini membuat aku berpikir ulang.” Ia menyimpan cangkir teh di meja kecil. 

“Janji kita… dan rumah ini…” 

Ia menarik napas dalam. “Aku takut janji itu tertunda lagi.”

Adit mengangguk pelan. “Aku mengerti.” Ia berhenti sejenak, memandangi sawah yang memantulkan sinar matahari senja. “Tapi kalau kamu memutuskan pergi… aku cuma ingin satu hal.”

Elsa memandangnya. “Apa itu?”

“Aku ingin kamu tahu: di mana pun kau berada, tempat ini  rumah ini tetap punya ruang untuk kamu. Dan aku… tetap di sini menunggu.” Suara Adit berhenti. Hatinya terbuka seperti sawah malam yang menanti hujan.

Elsa merasakan air mata kecil menyelinap ke sudut matanya. Ia menoleh ke luar, melihat langit berubah juling jingga ke biru lembut. Senja menggantung rendah. Ia membayangkan janji di bawah pohon mangga dulu, tawa anak-anak kecil mereka, tangan kecil yang saling menggenggam. Semua kenangan itu membuncah.

“Aku ingin tetap di sini,” 

katanya akhirnya, suara yang hampir tak terdengar tapi penuh tekad. “Aku ingin menepati janji. Tapi… aku juga ingin tahu apakah aku boleh memilih tetap dan pergi. Apakah dua-dua bisa?”

Adit mengangkat bahu sedikit dan tersenyum. 

“Jika itu yang membuatmu tenang, maka ya  kita bisa cari jalan. Janji itu perlahan, bukan paksa. Kita mulai dari sini.”

Elsa tersenyum besar untuk pertama kali hari itu, dan mereka berjalan perlahan menuju taman kecil di depan rumah yang baru tertata. Bunga kembang malam mulai merekah, lampu veranda menebar cahaya lembut. Mereka duduk di bangku kayu panjang, tangan Elsa menggenggam gantungan kunci kayu berbentuk kamera yang dulu diberikan Adit.

Malam makin larut, dan suara jangkrik bergema di antara pepohonan. Namun di antara suara alam itu, ada keheningan hangat yang tak butuh banyak kata. Elsa dan Adit duduk berdampingan, memandang ke arah sawah dan rumah yang kini mulai bernyawa kembali.

Di luar sana, janji tertunda kini mulai bergerak  bukan lewat kata-kata besar, tapi lewat langkah kecil yang mereka ambil bersama. Restorasi dimulai, perasaan mulai terbuka, pilihan mulai nyata.

Elsa menyandarkan kepala di bahu Adit, dan Adit membiarkannya. Senja tadi tak lagi hanya latar, tapi saksi  saksi bagi dua hati yang mulai memilih.

Dan di bawah langit yang semakin gelap, mereka memegang janji itu: pulang bukan hanya untuk satu 


Lebih Lengkap:


https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp

0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 7 Janji yang Tertunda"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel