-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 6 Antara Pergi dan Tinggal

Bab 6 Antara Pergi dan Tinggal

Langit sore berwarna emas kejinggaan saat Elsa berdiri di jembatan kecil yang membelah sungai desa. Airnya berkilau terkena cahaya matahari yang mulai turun. Angin lembut mengusap rambutnya, dan pikirannya melayang ke masa-masa dulu, ketika ia sering bermain di tempat ini bersama Adit.

Tapi hari ini… suasana hatinya tidak setenang air sungai itu.

Ia menggenggam ponselnya erat. Di layar terdapat pesan dari manajernya di kota:

Rina: “Elsa, ini kesempatan besar. Majalah Voyage resmi menawarkan kontrak 6 bulan di Eropa. Mereka tertarik dengan portofolio fotomu. Jawaban maksimal lusa.”

Pesan itu masih terbuka, dan meski Elsa sudah membacanya berulang kali, rasanya tetap seperti petir kecil yang menyambar hatinya. Tawaran itu adalah mimpi yang dulu selalu ia kejar. Tapi kini, setelah semua yang terjadi, setelah Adit…

“Aku harusnya senang,” gumamnya lirih. “Tapi kenapa terasa berat?”

Sore itu, Adit mengajaknya ke sebuah bukit kecil di ujung desa — tempat yang dulu sering mereka datangi untuk melihat matahari terbenam. Adit berjalan di depan, sesekali menoleh dan tersenyum. Elsa mengikutinya dengan langkah pelan, pikirannya masih dipenuhi pesan dari Rina.

Begitu sampai di atas bukit, pemandangan terbentang luas: rumah-rumah desa kecil di kejauhan, sawah menghijau, dan langit senja perlahan berubah warna. Adit membentangkan tikar dan membuka keranjang kecil berisi roti dan minuman.

“Piknik dadakan,” katanya santai.

Elsa duduk di sampingnya. “Kamu bawa semua ini sendiri?”

“Tentu,” jawab Adit bangga. “Aku kan cowok serba bisa.”

“Hmm… serba bisa bikin orang penasaran, iya,” balas Elsa dengan senyum kecil.

Mereka tertawa bersama. Tapi di dalam hati Elsa, kegelisahan mulai tumbuh. Ia tahu harus memberitahu Adit tentang tawaran itu… tapi belum tahu bagaimana.

“Els,” suara Adit terdengar lebih lembut kali ini. “Aku punya sesuatu buat kamu.”

Ia merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan sebuah gantungan kunci kayu berbentuk kamera. Ukurannya kecil, ukiran tangannya agak kasar tapi indah.

“Ini aku buat sendiri,” katanya sambil menyerahkannya. “Kayu jati sisa renovasi.”

Elsa terpaku. “Kamu… buat sendiri?”

Adit mengangguk. “Biar kamu gak lupa, ada tempat yang selalu nungguin kamu pulang.”

Kata-kata itu menusuk langsung ke dada Elsa. “Dit…” suaranya bergetar pelan.

“Aku gak maksain kamu buat apa-apa,” lanjut Adit. “Tapi aku cuma pengen kamu tahu… kamu penting.”

Elsa menatap gantungan itu lama. Rasanya seperti dunia berhenti sejenak. Adit mungkin tidak pernah menyatakan cinta dengan kata-kata besar, tapi setiap tindakannya selalu berbicara lebih keras dari apapun.

Senja mulai turun lebih dalam. Awan oranye menyala seperti bara. Mereka duduk berdampingan dalam diam yang nyaman. Namun hati Elsa seperti dihempas dua arah: impian yang sudah lama ia bangun… dan rasa nyaman yang perlahan tumbuh di sini.

“Adit,” ucap Elsa pelan.

“Hm?”

“Aku… dapat tawaran kerja.”

Adit menoleh. “Kerja?”

“Di luar negeri,” lanjutnya. “Eropa. Enam bulan.”

Adit tidak langsung bicara. Tatapannya kosong sesaat, seolah butuh waktu untuk mencerna. “Itu… tawaran besar?”

“Ya. Mungkin… mimpi yang dulu selalu aku kejar,” jawab Elsa lirih.

“Lalu?” Adit menatapnya, kali ini dalam sekali. “Kamu mau ambil?”

Elsa terdiam. “Aku… belum tahu.”

Suasana menjadi hening. Angin sore berhembus, membawa suara jangkrik dari kejauhan. Adit bersandar ke tanah, matanya menatap langit jingga yang mulai gelap.

“Kamu pernah bilang,” katanya akhirnya, “kalau kamu gak mau terikat tempat. Kamu mau bebas ke mana aja.”

Elsa mengangguk pelan.

“Dan aku…” Adit tersenyum tipis, “aku selalu tahu kamu diciptakan buat terbang tinggi.”

Kalimat itu hangat… tapi juga menyakitkan. Elsa ingin menjawab sesuatu, tapi tenggorokannya seperti tersumbat.

“Tapi,” lanjut Adit, “aku juga gak akan bohong… Dengar kabar kamu bakal pergi lagi rasanya gak enak.”

Elsa mengerjap, menahan air mata yang mulai menggenang. “Adit…”

“Aku gak akan nahan kamu, Els. Aku cuma… takut, kalau kamu pergi, aku gak punya alasan lagi buat nunggu.”

Kalimat itu mengguncang hatinya seperti ombak.

Malam tiba. Bintang-bintang bermunculan, angin semakin sejuk. Elsa menatap langit, berusaha menenangkan diri, tapi dadanya terasa sesak. Ia benci berada dalam posisi seperti ini: harus memilih antara impian dan seseorang yang diam-diam mulai berarti begitu banyak.

“Aku gak pernah nyangka aku akan… ngerasa kayak gini lagi,” katanya pelan.

Adit meliriknya. “Kayak gimana?”

“Bimbang.”

Adit tersenyum samar. “Itu tandanya ada sesuatu yang penting.”

Elsa menatapnya, dan dalam sorot mata Adit, ia melihat semua hal yang pernah ia lari dari: rumah, kenangan, perasaan. Tapi sekarang, hal-hal itu tidak lagi terasa seperti belenggu… melainkan sesuatu yang membuatnya ingin tetap tinggal.

Beberapa hari kemudian, kehidupan berjalan seperti biasa — setidaknya di permukaan. Renovasi rumah adat resmi selesai. Warga desa mengadakan syukuran kecil. Musik gamelan mengalun pelan, anak-anak berlarian, lampion-lampion menyala di sepanjang jalan.

Adit sibuk mengatur tamu dan warga. Elsa sibuk memotret momen-momen itu: tawa anak-anak, wajah orang tua yang bangga, dan tentu saja… Adit.

Setiap kali kameranya menangkap wajah Adit, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia sadar betul… perasaan itu bukan lagi nostalgia.

“Cantik banget ya,” suara Rina terdengar dari telepon di kantong celananya. Elsa sempat lupa dia masih ditelepon.

“Oh, Rina! Iya, acaranya meriah banget.”

“Kamu gak lupa jawaban kontrak, kan?” tanya Rina. “Besok terakhir.”

Elsa terdiam sejenak, lalu berkata, “Iya, aku ingat.”

“Ini kesempatan langka, Els. Gak semua fotografer bisa dapet tawaran kayak gini.”

“Aku tahu,” jawab Elsa pelan.

“Jadi? Kamu ambil, kan?”

Elsa tidak langsung menjawab. Matanya menatap Adit dari jauh — pria itu sedang membantu anak kecil meniup lampion. Senyum tulusnya, gerakan tangannya yang ringan, tatapan lembutnya… semua terasa seperti rumah.

Malam semakin larut. Setelah acara selesai, Elsa dan Adit duduk di tangga depan rumah adat. Lampu-lampu kecil di taman menyala redup. Angin membawa aroma malam yang lembut.

“Acaranya sukses,” ujar Elsa.

Adit mengangguk. “Iya. Semua senang.”

“Kamu juga kelihatan senang,” tambah Elsa.

Adit tersenyum. “Karena kamu di sini.”

Kalimat itu sederhana, tapi membuat jantung Elsa berdetak cepat. Ia menunduk, menyembunyikan senyum gugupnya.

“Aku udah kasih jawaban ke Rina,” ucap Elsa tiba-tiba.

Adit terdiam. “Dan?”

Elsa menarik napas dalam. “Aku… minta waktu satu hari lagi.”

Adit mengangguk pelan, mencoba terlihat tenang meski sorot matanya sedikit berubah. “Apa pun keputusan kamu, aku dukung.”

Elsa menatapnya. “Tapi aku gak tahu apakah aku siap kehilangan tempat ini lagi.”

Adit mendongak, tatapannya bertemu dengan tatapan Elsa. Ada getar halus di udara — sesuatu yang belum pernah mereka ucapkan selama ini.

“Dit,” Elsa bersuara lirih.

“Hm?”

“Aku takut.”

“Takut apa?”

“Takut menyesal… entah karena pergi, atau karena tinggal.”

Adit mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Elsa pelan. “Kadang, gak ada pilihan yang benar atau salah, Els. Yang ada cuma… apa yang bikin kamu tenang.”

Sentuhan itu sederhana, tapi hangatnya seperti menyelimuti seluruh tubuh Elsa. Ia ingin waktu berhenti di momen itu. Tapi ia tahu… besok adalah hari di mana ia harus memilih.

Larut malam. Elsa terbaring di ranjang kontrakannya, menatap gantungan kunci kayu pemberian Adit yang tergantung di meja. Bentuk kamera kecil itu seperti berbicara: “Kamu gak bisa punya semua, tapi kamu bisa memilih yang kamu cintai.”

Pikirannya kembali pada Eropa, jalanan kota yang ingin ia potret, galeri tempat ia bermimpi karyanya dipajang. Lalu kembali pada suara tawa Adit, tangan hangatnya, dan rumah adat yang kini menjadi tempat kenangan mereka.

“Pergi atau tinggal…” bisiknya.

Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Ia bukan menangis karena sedih — tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidup, ia punya sesuatu yang benar-benar berarti untuk ditinggalkan.

Keesokan harinya, saat mentari pagi menembus tirai kamar, Elsa sudah duduk di depan ponselnya. Pesan dari Rina masih ada di sana, belum terbalas.

Tangannya gemetar saat mulai mengetik. Pilihan di ujung jarinya.

Tiba-tiba, pesan lain masuk.

Adit: “Pagi, Els. Apa pun keputusan kamu hari ini… aku tetap bangga sama kamu.”

Elsa terdiam lama, lalu menarik napas panjang.

Ia tahu… apa pun pilihannya, hidupnya tidak akan sama lagi setelah hari ini.

Lebih Lengkap:


https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp


0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 6 Antara Pergi dan Tinggal"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel