Setelah Senja Berlabuh Bab 5 Langkah yang Tak Terduga
Bab 5 Langkah yang Tak Terduga
Langit sore merona jingga. Cahaya matahari menembus sela-sela pepohonan, menciptakan bayangan panjang di halaman belakang rumah adat yang sedang direnovasi. Udara hangat berpadu dengan aroma tanah dan kayu jati yang khas. Elsa menatap sekeliling dengan senyum kecil — tempat ini mulai tampak hidup lagi.
“Aku selalu suka sore seperti ini,” gumamnya pelan.
Adit, yang sedang mengecek gambar desain di tablet, meliriknya. “Karena langitnya cantik atau karena kamu suka suasana tenang?”
“Dua-duanya,” jawab Elsa sambil tertawa kecil. “Tapi lebih karena ini mengingatkanku waktu kecil. Sore-sore kayak gini… aku suka duduk di depan rumah sambil makan es lilin.”
Adit mengangguk. “Aku ingat. Kamu suka rasa stroberi.”
Elsa terkejut, tidak menyangka Adit masih mengingat detail sekecil itu. “Kamu ingat?”
“Tentu,” Adit tersenyum tipis. “Kamu selalu ngambek kalau es lilin stroberimu dicuri sama aku.”
Mereka berdua tertawa. Tawa ringan yang entah kenapa terasa berbeda. Elsa merasakan dadanya hangat. Sudah lama ia tidak merasa senyaman ini di dekat seseorang. Adit bukan orang baru dalam hidupnya, tapi cara mereka berinteraksi sekarang… tidak sama dengan dulu.
“Elsa,” panggil Adit pelan.
“Hm?”
“Aku mau tunjukin sesuatu.” Adit berdiri, membersihkan celananya dari debu, lalu melangkah ke sisi timur bangunan. Elsa mengikutinya dengan penasaran. Di sana, di sudut halaman, ada taman kecil yang dulu penuh dengan rumput liar. Sekarang taman itu sudah bersih dan tertata rapi. Ada kursi kayu panjang dan pot-pot bunga yang baru ditanam.
“Wow…” Elsa menahan napas. “Kamu yang buat semua ini?”
Adit mengangguk. “Bantuin tukang, sih. Tapi aku yang desain. Kamu kan dulu suka duduk di sini setiap sore.”
Elsa terdiam. Tempat ini penuh kenangan. Dulu, sebelum semua berubah, mereka sering duduk di sana sambil cerita apa saja — mimpi, masa depan, bahkan hal-hal konyol.
“Kamu ingat semuanya,” katanya pelan, nyaris seperti gumaman.
“Aku gak pernah lupa,” jawab Adit dengan nada serius. “Bukan cuma tempat ini, tapi semua hal yang kita lalui di sini.”
Elsa merasakan sesuatu mengalir dalam dadanya. Rasa haru bercampur rindu. Selama ini ia mencoba hidup jauh dari masa lalu, tapi nyatanya, bagian itu tidak pernah benar-benar hilang.
Mereka duduk di bangku kayu itu. Angin sore bertiup lembut. Sesekali daun jati gugur perlahan. Sunyi, tapi bukan sunyi yang canggung. Lebih seperti sunyi yang nyaman — seperti dua jiwa yang tidak butuh banyak kata untuk saling mengerti.
“Dulu,” Adit membuka suara lagi, “kita pernah janji, ya, kalau sudah besar, kita bakal keliling dunia.”
Elsa tersenyum miris. “Iya. Aku yang ngajakin. Tapi aku pergi sendiri.”
“Dan aku yang tinggal,” balas Adit dengan nada ringan — tapi Elsa tahu di balik kalimat itu ada perasaan yang lebih dalam.
“Aku… aku waktu itu cuma ingin mengejar impianku. Aku pikir aku gak boleh terikat tempat. Aku pengen bebas.”
“Dan itu bukan salah kamu, Els,” Adit menatapnya dalam. “Kamu berani ambil langkah besar. Aku bangga, kok.”
Elsa menghela napas pelan. “Tapi aku juga ninggalin banyak hal.”
Adit tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap langit sore, seolah mencari jawaban di balik awan yang bergerak perlahan.
“Aku cuma… sempat berharap, kamu akan tetap balik,” ucap Adit akhirnya.
Elsa menunduk. Kata-kata itu menusuk lembut tapi dalam. “Dan aku balik,” katanya lirih.
“Ya,” Adit tersenyum, kali ini tidak dipaksakan. “Kamu balik.”
Beberapa hari kemudian…
Renovasi sudah hampir selesai. Rumah adat itu kini tampak lebih kokoh, indah, dan hangat. Desa kecil tempat mereka tumbuh seakan ikut tersenyum melihat bangunan bersejarah itu kembali hidup. Elsa yang biasanya sibuk dengan pekerjaannya sebagai fotografer, kini menghabiskan lebih banyak waktu di sini — bukan hanya karena proyek, tapi juga karena sosok Adit.
Setiap pagi mereka sarapan di warung yang sama. Setiap sore duduk di bangku taman kecil itu. Setiap malam, Adit selalu mengantar Elsa pulang dengan motornya, meski jaraknya tak sampai 10 menit.
Rutinitas kecil yang diam-diam mulai membangun sesuatu di antara mereka.
Sore itu, Elsa membawa kamera kesayangannya. “Aku pengen ambil beberapa foto buat dokumentasi akhir,” katanya.
Adit mengangguk. “Kebetulan aku mau pasang papan nama di depan.”
Elsa memotret setiap sudut bangunan: pilar kayu jati yang dipernis, ukiran dinding, lampu gantung klasik, dan taman kecil di sudut. Saat ia sedang fokus mengambil gambar, Adit tiba-tiba berdiri di belakangnya.
“Jangan gerak,” katanya.
“Kenapa?”
“Aku bantu atur angle. Kamu terlalu banyak zoom.”
Elsa menoleh dan… mereka berdiri sangat dekat. Begitu dekat hingga Elsa bisa merasakan napas hangat Adit di pipinya. Degup jantungnya melonjak tak karuan. Wajahnya terasa panas.
“C—cukup dekat, Dit,” katanya gugup.
Adit justru tertawa kecil. “Sorry, refleks.”
Mereka sama-sama mundur setengah langkah, tapi tawa kecil itu membuat suasana menjadi ringan lagi. Meski begitu, Elsa tidak bisa memungkiri bahwa setiap kali jarak mereka terlalu dekat, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Rasa yang selama ini ia kubur perlahan muncul ke permukaan.
Senja kembali menyelimuti langit desa. Papan nama besar di depan rumah adat sudah terpasang rapi: “Rumah Kenangan”. Nama itu ide dari Adit. “Karena ini tempat semua kenangan bermula,” katanya waktu itu.
Elsa menatap papan itu lama sekali. Ada sesuatu di dalam hatinya yang mulai bergerak — bukan hanya nostalgia, tapi harapan baru.
“Bagus, ya,” ujarnya.
Adit berdiri di sampingnya. “Iya. Kayak kamu.”
Elsa menoleh kaget. “Apa?”
Adit pura-pura tidak dengar. “Apa?”
Keduanya saling pandang, lalu tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada ketegangan manis yang tak bisa diabaikan.
Malam itu, Elsa duduk sendirian di teras rumah kontrakannya. Kamera dan laptop terbuka, ratusan foto dari proyek hari itu terpampang di layar. Tapi pikirannya tidak fokus pada foto-foto itu. Ia terus teringat pada tatapan Adit sore tadi, kedekatan mereka, dan kalimat sederhana itu: “Kayak kamu.”
Ia menyandarkan kepala ke kursi rotan, menatap langit malam yang bertabur bintang.
“Apa aku… jatuh cinta lagi?” gumamnya.
Pertanyaan itu melayang di udara malam. Tidak ada jawaban, tapi jantungnya menjawab dengan irama yang tak biasa.
Keesokan paginya, sebelum matahari benar-benar naik, Elsa menerima pesan dari Adit.
Adit: “Pagi. Aku lagi di taman. Mau ikut sarapan bareng?”
Elsa menatap layar ponsel itu lama. Ia tersenyum tanpa sadar.
Elsa: “Tunggu 10 menit.”
Ia bergegas bersiap. Hatinya berdebar seperti remaja yang akan bertemu gebetan pertamanya. Semua terasa begitu sederhana, tapi justru itulah yang membuatnya istimewa.
Ketika ia tiba di taman kecil di depan rumah adat, Adit sudah duduk di bangku kayu itu dengan dua bungkus nasi uduk di tangannya.
“Pagi,” sapanya.
“Pagi juga,” jawab Elsa.
Mereka sarapan sambil bercanda ringan. Tidak ada beban, tidak ada masa lalu yang membelenggu hanya mereka berdua, pagi yang tenang, dan secercah perasaan yang tumbuh tanpa perlu dipaksa.
Elsa tahu, sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Ia tak lagi melihat tempat ini hanya sebagai “kampung halaman.” Ia mulai melihatnya sebagai tempat kemungkinan baru. Dan Adit… bukan lagi sekadar teman masa kecil, melainkan seseorang yang perlahan mengisi ruang hatinya yang lama kosong.
Di ujung sarapan, Adit berdiri. “Els, aku mau ajak kamu ke suatu tempat nanti sore.”
“Kemana?”
“Rahasia.”
Elsa tertawa kecil. “Kamu masih suka bikin penasaran, ya.”
Adit mengangkat alis. “Kalau enggak, kamu gak bakal penasaran.”
Dan sore itu, di antara langit jingga dan tawa ringan, Elsa tahu langkahnya semakin mendekati sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang mungkin… disebut cinta.
Lebih Lengkap:
https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp
.png)
0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 5 Langkah yang Tak Terduga"
Post a Comment