Setelah Senja Berlabuh Bab 4 Malam di Antara Lampu
Bab 4 Malam di Antara Lampu
Langit malam itu bersih. Tak ada hujan, hanya bintang-bintang kecil bertaburan seperti serpihan kaca di atas langit desa. Dari jauh terdengar suara musik dangdut pelan bercampur tawa anak-anak. Desa tengah mengadakan pasar malam tahunan, tradisi lama yang dulu selalu Elsa tunggu-tunggu waktu kecil.
Elsa berdiri di depan cermin kamarnya, mematut diri dengan kemeja putih longgar dan celana jeans biru muda. Rambutnya ia ikat setengah, membiarkannya sedikit tergerai. Ia bukan tipe yang suka berdandan berlebihan, tapi malam ini… entah kenapa, ia ingin tampil sedikit lebih rapi.
“Bukan untuk siapa-siapa,” gumamnya sambil tertawa kecil, “cuma… nostalgia.”
Ia mengambil tas kecil, lalu melangkah keluar kamar. Dari teras, aroma sate dan jagung bakar yang terbawa angin membuat perutnya ikut lapar.
Gaduh pasar malam seolah mengecil untuk sesaat. Kata “bagus” itu sederhana, tapi masuk ke telinga Elsa seperti bisikan pelan. Ia hanya bisa tersenyum tipis dan menyahut, “Kamu juga… nggak kelihatan kayak mandor bangunan, loh.”
Mereka tertawa bersamaan, lalu melangkah masuk ke dalam area pasar malam.
Suasana di dalam pasar benar-benar hidup. Anak-anak berlarian membawa balon, ibu-ibu sibuk menawar harga sandal dan pakaian, bapak-bapak bercengkerama sambil makan mie rebus di warung tenda. Musik dangdut dari panggung kecil di tengah pasar terdengar mengiringi semua itu.
“Kayak nggak ada yang berubah ya,” ujar Elsa sambil memandangi semua keramaian itu.
Adit berjalan di sebelahnya, kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket. “Iya. Cuma kita yang berubah.”
Kalimat itu membuat Elsa sedikit menunduk. Ia ingat betul saat masih kecil, ia dan Adit sering datang ke pasar malam ini. Mereka membeli permen kapas, naik komidi putar, lalu duduk di pinggir sawah sambil menatap langit malam.
Waktu berlalu cepat. Tapi kenangan itu masih menempel seperti bekas cat di dinding lama.
“Els, kamu mau makan apa dulu?” tanya Adit, memecah lamunannya.
“Hm… aku kangen jagung bakar.”
Adit menunjuk ke gerobak jagung di ujung gang. “Yaudah, sana.”
Mereka berdua tertawa keras, membuat tukang jagung ikut melirik sambil tersenyum. Elsa merasa dadanya ringan. Sudah lama sekali ia tidak tertawa selepas ini, tanpa harus berpikir tentang masa depan atau ketakutan akan gagal.
Setelah jagung habis, mereka berjalan lagi menyusuri pasar malam. Di sisi kiri ada wahana lempar bola, di kanan ada permainan komidi putar. Lampu kuning-oranye dari lampion bambu berayun pelan diterpa angin.
“Eh, itu masih ada,” Adit menunjuk permainan panahan kecil. “Kita dulu sering main itu kan?”
Elsa mengangguk, matanya berbinar. “Dan kamu… selalu kalah.”
Adit langsung protes, “Hei! Sekali doang aku kalah!”
“Tiga kali,” balas Elsa cepat.
“Dua setengah!”
Mereka akhirnya tertawa lagi, dan Adit—dengan gaya percaya diri—menyeret Elsa ke stan panahan itu. “Kali ini aku buktiin kalau aku jago.”
Si penjaga stan, lelaki paruh baya yang sepertinya sudah ada di pasar ini sejak dulu, menyapa mereka ramah. “Dari dulu kalian berdua emang suka berisik di sini.”
Elsa tertawa malu. Adit mengambil busur panahan mainan dan berdiri siap. Ia menarik tali busur dengan wajah serius seolah sedang lomba internasional. Elsa melipat tangan, pura-pura skeptis.
Anak panah pertama meleset jauh.
Elsa bersorak puas. “Yah, ternyata nggak berubah juga~”
“Belum pemanasan,” elak Adit.
Panah kedua hampir kena tengah. Panah ketiga — tepat di lingkaran merah. Elsa bertepuk tangan kecil, sedikit kagum.
“Oke, itu keren.”
Adit menyeringai penuh kemenangan. “Tuh kan, aku udah upgrade.”
“Hadiah boneka panda, ya?” tanya Elsa ke penjaga stan.
“Kalau tiga kali kena, boleh,” jawabnya.
Adit menembakkan panah keempat — dan, ya, meleset tipis. Elsa menahan tawa sekuat tenaga. Adit menghela napas dramatis, menyerahkan busur ke Elsa.
“Sekarang giliran yang jago ngomong.”
Elsa mengambil busur itu. Tangannya sedikit gemetar — bukan karena gugup bermain panahan, tapi karena Adit menatapnya dengan ekspresi yang terlalu fokus, terlalu dekat. Ia menarik napas dalam, membidik.
Panah pertama tepat sasaran.
Panah kedua masih kena.
Panah ketiga agak melenceng tapi tetap dalam lingkaran merah muda.
“YA!” Elsa melompat kecil kegirangan.
Penjaga stan tertawa. “Udah kayak dulu. Nggak pernah berubah, si Elsa ini.”
Adit menepuk dahinya. “Oke, aku menyerah. Hadiah kamu.”
Ia menyerahkan boneka panda kecil berwarna coklat-putih ke Elsa. Gadis itu menerimanya dengan senyum lebar.
“Panda ini saksi kekalahan kamu… lagi,” katanya geli.
“Panda itu bakal aku bakar suatu saat nanti,” balas Adit pura-pura murung.
Mereka duduk di atas batu besar di pinggir jalan tanah. Suara jangkrik mengisi keheningan. Dari kejauhan, pasar malam masih bersinar, tapi di tempat ini… dunia terasa lebih tenang.
“Aku kangen suasana ini,” ucap Elsa pelan. “Dulu setiap malam pasar, aku selalu berharap waktu berhenti di sini.”
Adit bersandar dengan kedua tangannya menopang tubuh di belakang. “Kalau waktu berhenti, kamu nggak bakal tahu betapa banyak hal yang kamu lewatkan.”
Elsa melirik ke arahnya. “Maksudnya?”
“Ya… kalau kamu nggak pergi, kamu nggak bakal jadi orang yang kayak sekarang. Yang berani ngambil keputusan, yang tahu apa yang dia mau.”
Elsa menghela napas pelan. “Iya sih. Tapi kadang aku juga ngerasa… mungkin aku ninggalin terlalu banyak.”
“Termasuk aku?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja. Suaranya datar, tapi menusuk. Elsa tidak langsung menjawab. Ia menatap tanah, lalu langit, lalu Adit.
“Mungkin,” jawabnya jujur. “Tapi bukan karena aku mau. Waktu itu aku cuma takut… kalau aku tetap di sini, aku bakal jadi orang yang nggak berkembang.”
Adit diam lama. Angin malam meniup rambutnya pelan. “Aku ngerti. Aku nggak pernah nyalahin kamu pergi. Tapi ya… aku juga nggak bisa bohong, aku sempat kesel waktu itu.”
Elsa menunduk. “Maaf.”
“Jangan minta maaf.” Adit tersenyum tipis. “Sekarang kamu di sini lagi, kan?”
Ada jeda hening yang lembut. Mereka saling menatap, bukan dengan cara romantis yang meledak-ledak, tapi dengan rasa tenang dan hangat seperti seseorang yang akhirnya pulang.
“Dulu aku pikir perasaan kayak gini cuma nostalgia,” kata Elsa lirih.
“Dan sekarang?”
“Sekarang aku nggak yakin itu cuma nostalgia.”
Adit menatapnya lama, lalu mengalihkan pandangannya ke langit. “Aku juga.”
Bintang-bintang di atas mereka seakan semakin terang. Elsa merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, tapi anehnya… ia tidak ingin menghindar dari perasaan itu.
Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Lampu-lampu pasar mulai dipadamkan satu per satu, menandakan acara akan segera selesai. Elsa dan Adit berjalan pulang bersama di jalan kecil yang sunyi.
“Els,” kata Adit tiba-tiba.
“Hm?”
“Terima kasih udah ngajak aku ke pasar malam.”
Elsa tertawa kecil. “Padahal tadi kamu yang nungguin aku di gerbang.”
“Ya, tapi… kalau bukan karena kamu, mungkin aku cuma kerja, tidur, kerja lagi.”
Elsa menatapnya sekilas. “Kamu butuh hidup, Dit.”
“Dan kamu yang bawa itu balik,” jawabnya pelan.
Mereka terdiam lagi, tapi kali ini bukan keheningan yang canggung. Ada sesuatu yang tumbuh, pelan tapi pasti. Langkah mereka seirama.
Sampai akhirnya mereka tiba di depan rumah Elsa, Adit berhenti.
“Selamat malam,” katanya.
“Selamat malam,” jawab Elsa.
Saat Adit berbalik, Elsa spontan memanggilnya. “Dit!”
Adit menoleh.
“Terima kasih… udah bikin malam ini terasa hidup.”
Adit tidak menjawab, hanya tersenyum — senyum yang lama tidak Elsa lihat. Lalu ia pergi menyusuri jalan kecil, sementara Elsa berdiri di depan teras, memeluk boneka panda kecil di dadanya.
Lebih Lengkap:
https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp
.png)
0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 4 Malam di Antara Lampu"
Post a Comment