-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 3 Jarak yang Semakin Pendek


Bab 3 Jarak yang Semakin Pendek

Hujan rintik-rintik membasahi pelataran rumah adat yang masih setengah jadi. Langit kelabu menggantung rendah, seolah menahan embun yang belum tumpah seluruhnya. Di ujung teras kayu, Elsa berdiri dengan hoodie lusuh dan celana panjang training, menggenggam kamera dengan satu tangan. Udara pagi terasa lembap, tapi juga menenangkan.

Klik.


Ia menekan tombol kamera untuk ke sekian kalinya. Bukan hanya untuk mendokumentasikan proses restorasi rumah ibunya, tapi juga untuk menyimpan setiap detail yang membuat tempat ini tetap “hidup.” Ukiran kayu pada tiang depan, bau basah dari tanah yang baru dipadatkan, dan warna genting yang memudar.


“Pagi-pagi udah begini?” suara Adit terdengar dari balik pintu samping.


Elsa sedikit terlonjak. “Astaga, kamu bikin jantung aku hampir copot.”


Adit menyeringai kecil, rambutnya basah karena hujan. Ia mengenakan jaket kerja biru dongker dengan logo perusahaannya di dada kiri, dan sepasang sepatu boots yang kotor oleh lumpur. Di tangan kanannya ada blueprint terlipat, di tangan satunya termos kopi.


“Ini kampung sendiri. Masa lupa, di sini orang suka muncul dari pintu mana saja.” Ia menaruh termos itu di pagar kayu.


Elsa mendecak pelan. “Masalahnya, aku lagi fokus motret. Nggak semua orang tahan kaget begitu, tahu.”


“Makanya… jangan bengong sendirian di teras hujan-hujanan.”

Ia mendekat, berdiri di sebelah Elsa. Keduanya diam beberapa saat, hanya mendengar suara air hujan yang jatuh ke atap seng dan suara ayam tetangga berkokok terlambat.


“Cantik ya, kalau hujan,” gumam Elsa sambil menatap pekarangan. “Kayak semua warna jadi tenang.”

Adit menatap arah yang sama. “Iya… tapi juga bikin fondasi gampang becek. Kalau hujan kayak gini terus, pekerjaan bisa molor satu minggu.”


Elsa menoleh sekilas, lalu tertawa kecil. “Kamu memang nggak bisa lepas dari hal teknis ya.”

“Ya nggak juga. Tapi kalau aku nggak mikirin itu, siapa lagi?”


Hening lagi. Namun kali ini tidak canggung. Ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara jeda percakapan mereka — semacam keakraban lama yang mulai pulih. Elsa tak tahu apakah itu karena hujan, atau karena Adit.



Sekitar dua jam kemudian, hujan reda. Tim tukang mulai berdatangan, membawa kayu, cat, dan peralatan lainnya. Adit menggelar blueprint di meja panjang di ruang tengah rumah adat. Elsa ikut duduk di seberangnya, masih menggantungkan kamera di leher.


“Jadi,” kata Adit sambil menunjuk salah satu sketsa, “aku mau ubah bentuk tangga depan. Kalau pakai kayu kelapa, teksturnya lebih kuat dan nggak gampang lapuk. Tapi tampilannya bakal sedikit berbeda dari tangga aslinya.”


Elsa mengernyit. “Berbeda seberapa banyak?”


“Modelnya masih tangga panggung, tapi nggak seratus persen sama. Kita sesuaikan supaya bisa tahan cuaca ekstrem. Dulu tangga aslinya sering lapuk gara-gara hujan.”


“Hmm… aku suka kayu kelapa sih. Tapi…” Elsa berhenti sejenak. “Kalau tampilannya terlalu modern, rasanya bukan rumah Mama lagi.”


Adit bersandar ke kursi, melipat tangannya. “Aku ngerti perasaan kamu. Tapi ini bukan soal modern atau nggak. Ini soal tangga yang nggak bikin kamu jatuh kalau hujan kayak tadi.”


Nada bicaranya datar, tapi bukan keras. Elsa bisa merasakan logika yang kuat di balik kalimat itu — dan ia benci mengakuinya, tapi Adit punya poin.


“Aku cuma takut kehilangan ‘rasa’ rumah ini,” ucap Elsa pelan.


Adit memandanginya cukup lama sebelum menjawab, “Nggak semua perubahan bikin kehilangan, Els. Kadang justru bikin kita lebih menghargai bagian yang tetap sama.”


Elsa terdiam. Kata-kata itu menempel di pikirannya. Ia menatap blueprint lagi, melihat garis-garis hitam yang melambangkan perubahan, tapi juga kemungkinan.


“Yaudah, kita coba. Tapi aku minta satu hal: ukiran di pinggiran tangga harus tetap pakai pola lama,” katanya akhirnya.


Adit mengangguk mantap. “Deal.”


Hari itu berjalan lebih cepat dari yang Elsa bayangkan. Ia membantu mengecat ulang jendela, sesekali mengabadikan momen pekerja yang tertawa, menimba cat, atau berteduh sambil menyeruput kopi. Adit sibuk memberi arahan pada tukang, sesekali bercanda dengan mereka. Elsa memperhatikan caranya berbicara — tegas, tapi nggak membuat orang merasa kecil.


Di sela-sela aktivitas itu, Adit menghampirinya sambil membawa segelas air mineral.


“Minum dulu, fotografer,” ucapnya.


Elsa menerima gelas itu. “Makasih.”


“Capek juga ya, kerja kayak gini?”


Elsa mengangguk. “Capek, tapi aku suka. Rasanya… kayak membangun sesuatu yang berarti.”


“Emang. Bedanya, aku bangun bangunan, kamu bangun kenangan,” sahut Adit ringan.


Elsa spontan tersenyum. Entah sejak kapan Adit jadi bisa ngomong manis seperti itu. Atau mungkin, dari dulu dia memang begitu, hanya saja Elsa tidak memperhatikannya.


“Puitis banget kamu sekarang,” candanya.


“Sekali-sekali boleh dong,” balas Adit.


Sore menjelang. Matahari sore menembus sisa awan hujan, menyoroti bagian atap rumah yang sudah bersih dari lumut. Cahaya keemasan membuat semuanya terlihat hangat. Elsa duduk di bangku kayu depan rumah, sambil menatap pekerja yang berkemas pulang.


Adit ikut duduk di sampingnya, dengan botol air kosong di tangan. Keduanya sama-sama diam lagi, tapi kali ini Elsa merasakan sesuatu yang berbeda — keheningan itu nyaman. Ia merasa seperti dulu lagi, saat mereka masih remaja, duduk di teras sambil menunggu langit berubah warna.


“Els,” suara Adit pelan, “kamu pernah nyesel nggak, ninggalin tempat ini waktu itu?”


Pertanyaan itu datang begitu saja, tapi nadanya serius. Elsa menatap langit, lalu menghela napas panjang.


“Pernah. Tapi waktu itu aku juga butuh pergi,” jawabnya jujur. “Aku butuh… tahu rasanya jadi diriku sendiri, bukan cuma anak Mama, bukan cuma gadis kampung.”


Adit mengangguk kecil. “Aku ngerti.”


“Lucu ya,” lanjut Elsa. “Waktu aku pergi, aku pikir aku bakal lupa tempat ini. Tapi ternyata, semakin jauh aku pergi, semakin aku inget semua detailnya.”


“Karena ini rumahmu.”


Kata “rumah” itu terasa berat, tapi hangat. Elsa melirik Adit. Matanya lurus ke depan, tapi rahangnya mengeras sedikit. Ia bisa menebak — ada banyak hal yang tidak dikatakan di balik kata sederhana itu.

“Dan kamu?” tanya Elsa balik. “Kamu nggak pernah pengin pergi dari sini?”


Adit tertawa pendek, tapi bukan tawa bahagia. “Dulu pernah. Tapi akhirnya aku sadar… orang yang pergi dan orang yang tetap tinggal sama-sama punya peran. Kalau semua orang pergi, siapa yang bakal jaga tempat ini?”


Elsa terdiam. Sekali lagi, Adit berhasil membuat hatinya hangat dengan kalimat sesederhana itu.


“Lucu, ya,” gumam Elsa. “Kita berubah banyak. Tapi juga… nggak terlalu.”


“Ya. Kita tumbuh. Tapi akar kita di sini,” jawab Adit.


Angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan kayu yang baru dipotong. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan sinar matahari makin redup. Elsa merasakan sesuatu mengalir dalam dadanya — bukan sekadar nostalgia, tapi semacam ketenangan yang lama hilang.


Beberapa menit kemudian, saat Adit bangkit untuk merapikan alat kerja, Elsa memanggilnya.


“Adit.”


“Hm?” Ia menoleh.


“Thanks, ya.”


Adit mengerutkan kening. “Untuk?”


“Untuk… nggak bikin semua ini terasa terlalu berat.”


Adit menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Sama-sama. Dan… makasih juga udah bikin aku inget kenapa aku suka tempat ini.”


Mereka berdiri di ambang pintu rumah adat, tepat saat matahari benar-benar tenggelam. Cahaya jingga berubah menjadi senja biru keunguan. Elsa menggenggam kameranya lagi, mengarahkannya ke Adit yang sedang membelakangi langit.


Klik.


Satu lagi gambar masuk ke dalam memorinya. Tapi kali ini, bukan hanya untuk dokumentasi — tapi untuk hatinya sendiri.


Malam turun perlahan. Suara jangkrik mulai terdengar, lampu-lampu gantung di teras menyala redup, menciptakan suasana hangat. Elsa duduk di kamar lamanya, memindahkan hasil foto hari itu ke laptop. Ada foto tangga, foto pekerja, foto Adit… banyak sekali.


Saat matanya berhenti pada satu foto — Adit yang sedang melihat langit senja — Elsa tersenyum pelan. Ia tidak tahu apa yang sedang tumbuh di hatinya. Tapi satu hal ia tahu pasti: jarak antara dirinya dan Adit kini tidak lagi sejauh dulu.


Bukan hanya jarak fisik. Tapi jarak hati.



Lebih Lengkap:

https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp


0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 3 Jarak yang Semakin Pendek"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel