-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 2 Langkah Kecil di Bawah Langit Pagi


Bab 2 Langkah Kecil di Bawah Langit Pagi

Udara pagi terasa sejuk, menyelinap masuk lewat celah jendela kamar Elsa yang masih terbuka sebagian. Tirai tipis berkibar ringan, membawa aroma basah tanah dan dedaunan yang baru terkena embun. Di kejauhan, kabut tipis menggantung di atas sawah—lukisan alam yang selalu membuat Elsa tenang setiap kali pulang ke desa.

Suara ketukan pelan terdengar dari pintu.


“Elsa, sudah bangun?” suara Ibu terdengar lembut.


“Sudah, Bu. Sebentar lagi turun,” jawab Elsa sambil mengambil jaket ringan dan sling tas berisi kameranya.


Saat turun ke dapur, aroma nasi goreng kampung menyambutnya. Ibunya menata piring di meja kayu besar, dengan secangkir kopi hitam panas di sampingnya. Pagi terasa sangat sederhana tapi hangat.


“Kau terlihat lebih segar sekarang,” kata sang ibu sambil duduk. “Kemarin, waktu datang, wajahmu seperti orang habis lari maraton.”


Elsa terkekeh pelan, duduk. “Aku memang butuh istirahat, Bu. Kota besar itu… ramai, tapi juga melelahkan.”


“Dan di sini,” sang ibu menunjuk ke sekeliling, “hanya ada angin, sawah, dan suara ayam.”

“Itu justru yang aku cari,” jawab Elsa sambil tersenyum.


Setelah sarapan, Elsa membawa kameranya ke halaman depan. Matahari baru naik, sinarnya menembus dedaunan kelapa dan menimpa dinding kayu rumah adat. Ia mengangkat kamera, mengatur lensa, dan mulai memotret detail ukiran kusen jendela, dinding yang lapuk, genting yang mulai dimakan lumut.


Sambil memotret, Elsa tak sadar ada suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Ketika ia menurunkan kameranya, sosok Adit sudah berdiri di depan pagar bambu, mengenakan kemeja abu-abu dengan tas selempang besar berisi map gambar dan penggaris panjang.


“Pagi,” sapa Adit.


Elsa sedikit terkejut tapi senang. “Pagi juga. Cepat sekali kau datang.”


Adit tersenyum kecil. “Kalau urusannya bangunan, aku selalu tepat waktu. Lagipula… rumah ini terlalu menarik untuk dilewatkan.”


Elsa menahan tawa, tapi pipinya terasa hangat. Ia membuka pagar dan membiarkan Adit masuk. Mereka berdiri berdampingan di halaman, memandangi rumah tua itu.


“Kalau dilihat dari sini,” kata Adit sambil menunjuk ke bagian atas rumah, “struktur utamanya masih kokoh. Tapi pondasi dan rangka atap perlu perbaikan cepat.”


“Ukiran di depan ini masih bagus, kan?” Elsa menunjuk ke panel kayu di sisi kiri pintu masuk.


“Bagus. Tapi banyak yang rapuh di bagian dalamnya. Kita bisa selamatkan sebagian besar,” jawab Adit dengan nada serius khas pekerja lapangan, tapi ada kehangatan di ujung suaranya.


Mereka kemudian melangkah ke bagian belakang rumah. Adit membuka map besar berisi sketsa


rencana restorasi. Gambar hitam putih dengan coretan detail: letak balok kayu, sambungan atap, jalur drainase, hingga panel ukiran yang akan direplika.


Elsa berjongkok, memperhatikan sketsa itu. “Kau buat semua ini semalaman?”


Adit mengangguk pelan. “Aku pernah pelajari struktur rumah adat ini waktu kuliah. Tapi baru sekarang aku bisa mengerjakannya secara nyata. Rasanya… menyenangkan.”


Elsa menatap Adit tanpa suara selama beberapa detik. Ada sesuatu di cara dia berbicara—ketulusan yang sama seperti saat mereka dulu sering bermain di sini waktu kecil. Dulu, Adit selalu suka menggambar. Elsa suka memotret dengan kamera pinjaman ayahnya. Mereka sering beradu ide, membayangkan masa depan


Menjelang siang, mereka naik ke loteng rumah. Tangga kayu berderit setiap kali diinjak, aroma kayu lapuk bercampur debu menyesak hidung. Elsa berjalan pelan sambil membawa kamera, sementara Adit memegang senter kecil dan mencatat kerusakan di buku catatan.


“Lantai ini…” gumam Adit, menekan papan dengan kakinya. “Masih bisa disangga ulang, tapi butuh balok baru di bagian timur.”


“Coba aku foto dari sudut sana,” kata Elsa sambil berjongkok, mengabadikan celah-celah kayu yang menganga.


Tiba-tiba papan di dekat Elsa berderit keras. Kakinya sedikit tergelincir. “Aah—!”


Adit refleks bergerak cepat, menarik lengan Elsa sebelum ia sempat kehilangan keseimbangan. membuat jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal. Elsa bisa mendengar napasnya sendiri bercampur napas Adit.


“Kau baik-baik saja?” suara Adit pelan, dekat sekali.


“Y-ya… hanya kaget,” jawab Elsa, suaranya nyaris bergetar. Ia menyadari betapa dekat wajah mereka—cukup dekat hingga ia bisa melihat debu kecil di bulu mata Adit.


Setelah beberapa detik canggung, Adit melepaskan pelan dan mundur sedikit. “Lantai ini memang rapuh. Jangan berdiri di pinggir sini.”


Elsa mengangguk cepat, wajahnya merah padam. Ia merapikan rambutnya dan pura-pura sibuk dengan kameranya lagi.


Adit hanya menghela napas kecil sambil tersenyum samar. Ia melanjutkan catatannya seperti tak terjadi apa-apa, meski Elsa tahu jantungnya juga berdetak tak karuan.


Menjelang sore, mereka selesai mengukur dan mendokumentasi loteng. Adit menutup mapnya, sementara Elsa menurunkan kameranya ke samping.


“Kita bisa mulai perbaikan pondasi minggu depan,” kata Adit. “Tapi untuk ukiran kayu, aku ingin minta bantuan Pak Hasan. Dia satu-satunya pengrajin yang masih menguasai teknik lama.”


Elsa mengangguk penuh semangat. “Bagus. Aku juga mau bantu ambil foto prosesnya satu per satu. Jadi bukan cuma rumahnya yang hidup kembali, tapi ceritanya juga.”


“Ceritanya?” tanya Adit sambil sedikit mengangkat alis.


“Ya.” Elsa menatap rumah itu. “Setiap papan kayu ini punya sejarah. Orang yang tinggal di sini dulu… tertawa, menangis, mencintai. Kalau kita hanya perbaiki bangunan tanpa menyimpan ceritanya, rasanya seperti kehilangan separuh maknanya.”


Adit terdiam sebentar, lalu tersenyum. “Itu cara pandang yang bagus.”


Mereka berdiri berdampingan di beranda belakang, memandangi langit sore yang perlahan berubah jingga. Awan tipis bergerak pelan, angin mengibaskan rambut Elsa. Adit menyandarkan mapnya ke pagar kayu, lalu menyelipkan kedua tangannya ke saku.


“Elsa,” katanya tiba-tiba.


Elsa menoleh. “Hmm?”


“Aku senang kau pulang.”


Ucapan itu begitu sederhana, tapi menusuk lembut ke dalam hati Elsa. Tidak ada embel-embel, tidak ada basa-basi, hanya kalimat jujur dari seseorang yang dulu pernah menjadi rumahnya. Elsa tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, menatap mata Adit, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke langit senja.


“Aku juga,” jawabnya pelan.


Setelah Adit pulang, Elsa duduk sendirian di teras. Sinar jingga menyinari wajahnya, dan pikirannya melayang pada hari itu: tawa kecil di bengkel kemarin, tangan Adit yang menahannya tadi siang,


tatapan mata itu saat mereka berbicara tentang rumah ini.


Hatinya sedikit bergetar, tapi bukan getaran yang menakutkan—melainkan seperti getaran lembut ketika seseorang mulai menemukan kembali sesuatu yang pernah hilang.


Ibunya keluar membawa teh hangat. “Kau terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta,” katanya sambil duduk di kursi sebelah.


Elsa tersedak kecil. “Ibu…!”


Sang ibu tertawa pelan. “Kau tak perlu bilang apa-apa. Matamu yang bicara.”


Elsa menunduk, menatap cangkir tehnya. Uapnya naik perlahan ke udara, hangat di wajah. “Kami cuma kerja bareng. Restorasi rumah.”


“Kerja bareng juga bisa bikin hati dekat,” kata ibunya dengan nada menggoda. “Kalian itu dari dulu sudah cocok. Aku ingat waktu kecil, Adit selalu ikut kamu ke sungai, ke kebun, ke mana pun. Waktu kamu pergi kuliah, dia yang paling sering nanya ‘kapan Elsa pulang’.”


Elsa terdiam. Jantungnya kembali berdetak cepat. Ia tak tahu apakah harus senang atau gugup mendengar cerita itu.


“Sudahlah,” lanjut ibunya. “Yang penting sekarang kamu terlihat bahagia. Rumah ini bukan satu-satunya yang kamu bangun kembali, kan?”


Elsa tersenyum samar. Ia tak menjawab. Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu—ibunya benar.


Malam hari, Elsa membuka laptop dan memindahkan foto-foto dari kameranya. Setiap gambar tampil di layar: ukiran kayu yang pudar, loteng yang rapuh, wajah Adit yang tak sengaja terekam saat ia mengukur balok. Elsa berhenti di foto itu. Gambar itu blur sedikit—tapi ekspresinya tulus, fokus, seperti seseorang yang mencintai apa yang dikerjakannya.


Jari Elsa menyentuh touchpad perlahan, menahan foto itu lebih lama. Ia mengembuskan napas, membiarkan perasaan kecil itu tumbuh tanpa paksa.


“Selamat datang kembali di rumah,” gumamnya pada diri sendiri.


Di luar jendela, jangkrik bersuara bersahutan. Langit malam cerah bertabur bintang, seakan ikut menyaksikan langkah kecil dua orang yang mulai mendekat lagi—perlahan, tapi pasti.


Lebih Lengkap:

https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp

0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 2 Langkah Kecil di Bawah Langit Pagi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel