Setelah Senja Berlabuh Bab 1 Pulangnya Elsa
Bab 1 Pulangnya Elsa
Senja menggantung rendah di atas hamparan sawah yang baru saja diguyur hujan. Bayangan panjang pohon-pohon berbaring tenang di tanah basah. Udara lembap membawa aroma tanah dan rumput, menyusup lewat celah pintu rumah kayu tua milik keluarga Elsa.
Ia menghela napas panjang ketika melangkah keluar dari mobil kecilnya. Tas kamera tergantung di bahu, koper besar di bagasi belakang dua benda yang selalu menemani hidupnya selama merantau tiga tahun di kota. Meski telah melangkah jauh, hatinya selalu tertambat pada suara jangkrik petang dan atap genting rumah ini.
“Sampai di rumah, dek,” suara ibunya memecah kesunyian. Lembut, hangat, seperti dulu. Elsa menoleh. Rambutnya yang sedikit ikal menari tertiup angin. Ia menunduk kecil, suaranya lirih, “Ibu… terima kasih sudah menunggu.”
Ibunya mendekat dengan langkah ringan, menyentuh jaket Elsa seakan memastikan putrinya benar-benar pulang. Di dalam rumah, lampu kuning menyala redup. Ukiran kayu di jendela tampak pudar, vas keramik di pojok ruangan retak, tikar anyaman bambu terbentang di lantai. Sebuah foto lama di dinding dirinya dan Adit kecil tertawa lepas membuat dada Elsa berdesir. Bagaimana kabarmu, Adit? pikirnya.
Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap lewat tirai putih kusam. Elsa duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh kamera DSLR yang berdebu. Sudah lama ia tak menggunakannya di rumah ini. Di dapur, aroma kopi dan nasi hangat menyambutnya. Ibunya duduk di meja kayu, menyodorkan secangkir kopi.
“Kamu mau bantu proyek rumah adatnya hari ini?” tanya sang ibu. Elsa mengangguk. Ia sudah berjanji membantu merestorasi rumah nenek moyang mereka bangunan tua yang kini lapuk dimakan waktu.
Jalan desa berdebu membawanya menuju bengkel kayu. Langit pagi berwarna oranye muda, burung-burung beterbangan melintas. Elsa berhenti sejenak, mengangkat kamera, menangkap gambar pemandangan yang selama ini ia rindukan.
Bengkel kayu itu sederhana, berdinding papan dengan pintu besar terbuka lebar. Pengrajin tua bekerja tekun menghaluskan kayu dan mengukir motif flora khas rumah adat. “Pagi, Pak Hasan,” sapa Elsa.
Pria tua berkumis putih itu menatapnya. “Pagi, Nak. Lama tak lihat kau bawa kamera ke sini.”
Elsa tersenyum. “Kangen saja. Aku ingin menangkap semua detail yang dulu aku abaikan.”
Pak Hasan mengangguk. “Kayu lama ada di loteng. Hati-hati, banyak yang rapuh.”
Elsa menaiki tangga kayu yang berderak pelan. Di loteng, panel-panel ukiran tersimpan di lemari tua — beberapa pudar, sebagian retak. Jemarinya menyusuri ukiran berbentuk flora. Lekukannya masih indah meski warnanya pudar. “Luar biasa,” gumamnya.
Suara langkah dari luar bengkel membuatnya menoleh. Seseorang mendekat, bayangannya terbentuk di pintu besar. Sosok itu tinggi, rambut gelapnya berantakan ditiup angin. Saat mata mereka bertemu, dunia terasa berhenti sejenak.
“Elsa?” Suara bariton itu langsung ia kenali.
Jantung Elsa berdegup kencang. “Adit?”
Adit melangkah masuk, pakaiannya berdebu kayu, tapi matanya masih sama teduh dan hangat. “Aku nggak dengar kabar kapan kau pulang,” katanya pelan. Ada keingintahuan dan sedikit rindu yang terselip.
Elsa menelan ludah, mencoba tersenyum. “Maaf… aku sibuk. Banyak proyek… dan butuh waktu sendiri.”
Adit mengangguk, berusaha tampak biasa meski sorot matanya menyimpan banyak pertanyaan. “Bagaimana kondisi rumah? Banyak yang rusak?”
Mereka berjalan bersama, cahaya matahari masuk dari pintu bengkel terbuka, menyorot serbuk kayu yang beterbangan. Adit menunjuk balok-balok rusak dan genting bocor. Elsa mendekat, menyentuh kayu yang ditandai. Secara tak sengaja, tangan Adit menyentuhnya juga. Kontak singkat itu membuat keduanya saling berpandangan. Sunyi. Hanya bunyi pahat di luar terdengar samar.
“Aku setuju,” ucap Elsa pelan. “Mulai dari ukiran asli dulu. Rumah ini punya cerita sendiri.”
Adit mengangguk. “Baik. Tapi kita harus perhatikan biaya juga. Aku pikir kayu lokal bisa jadi solusi, tetap otentik, tapi hemat.”
Elsa tersenyum — hangat, tulus. “Kayu lokal boleh. Asal ruh rumah ini nggak hilang.”
Adit menyipitkan mata, nyaris tersenyum. “Kau masih memperhatikan hal-hal kecil yang orang lain abaikan.”
Senja merambat ketika mereka meninggalkan bengkel. Langit terbakar oranye keemasan. “Mau ke rumahku?” tanya Adit santai. “Ibu masak sayur asem.”
Elsa menahan senyum. “Mungkin.”
Mereka berjalan melewati pekarangan kecil. Bunga kembang malam bermekaran, menguarkan aroma wangi lembut. Elsa mendongak menatap langit, lalu menoleh ke Adit. “Aku rindu semua ini,” katanya lirih.
Adit diam sejenak. “Aku juga,” balasnya jujur.
Lampu veranda rumah menyala hangat. Angin malam berhembus pelan, membawa suara jangkrik dari kejauhan.
“Kalau kau mau,” kata Adit, “aku bisa bantu dokumentasi restorasi ini. Dari awal sampai selesai.”
Elsa tersenyum. “Aku senang kau ada di sisi ini.”
Malam turun perlahan. Mereka duduk di teras rumah, menyaksikan langit jingga berubah abu, lalu gelap. Di antara gemerisik daun dan nyanyian malam, ada sesuatu yang tumbuh pelan — bukan ledakan cinta yang tergesa, tapi kehangatan yang diam-diam berakar.
Lebih Lengkap:
https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp
.png)
0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 1 Pulangnya Elsa"
Post a Comment