-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 15 Panggung Restorasi Terakhir

Suara palu terakhir terdengar nyaring, lalu berhenti. Udara sore itu terasa berbeda  tenang, nyaris sakral. Setelah berbulan-bulan, rumah adat yang dulu nyaris runtuh kini berdiri kokoh di hadapan Elsa, penuh kehidupan, penuh kenangan.

Elsa berdiri di tengah halaman, menatap setiap ukiran, setiap garis kayu yang kini memantulkan cahaya matahari sore. 

Ia merasa seperti menatap cermin dari dirinya sendiri  retak, lalu perlahan dipulihkan.

“Sudah selesai,” kata Adit pelan di sampingnya.

Elsa menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya. “Kata ‘selesai’ sekarang terasa aneh.”

“Kenapa?”

“Karena di balik setiap hal yang selesai, selalu ada sesuatu yang baru dimulai.”

Adit mengangguk pelan. “Kamu benar. Tapi kali ini, kita boleh istirahat sebentar sebelum mulai lagi.”

Mereka tertawa kecil. Di belakang mereka, para tukang mulai berkemas. 

Anak-anak berlarian sambil membawa bendera kecil tanda perayaan sederhana yang mereka siapkan untuk upacara penutupan restorasi malam ini. 

Desa akan berkumpul, menyalakan lampion, dan menjadikan halaman rumah adat ini sebagai panggung utama.

Senja turun dengan lembut. Meja panjang sudah disusun di depan rumah, dihiasi bunga kamboja dan daun kelapa muda. Lampion-lampion digantung di sepanjang pagar, menciptakan cahaya hangat yang menari di udara.

Elsa berjalan di antara kerumunan, mengenakan kebaya krem sederhana.

Rambutnya disanggul, sehelai melati terselip di belakang telinga.

Setiap kali seseorang menyalaminya dan mengucapkan selamat, ia hanya bisa tersenyum sambil menahan rasa haru.

Ia melihat Adit berdiri di sisi panggung kecil, memeriksa mikrofon dan tata lampu. Sejak pagi, Adit yang mengatur semua katanya, malam ini bukan hanya tentang rumah, tapi juga tentang mereka yang membangun harapan bersama.

Ketika matahari benar-benar tenggelam, musik tradisional mulai mengalun pelan. Orang-orang berkumpul. Adit naik ke panggung, memegang mikrofon, dan suara lembutnya memenuhi halaman.

“Saudara-saudara,” katanya, “malam ini bukan hanya malam perayaan. Ini adalah malam terima kasih. Kepada semua tangan yang bekerja, kepada semua hati yang bertahan. Rumah ini berdiri bukan karena kayunya kuat, tapi karena niat kita untuk tidak membiarkannya hilang.”

Tepuk tangan bergema.

Adit melanjutkan, “Ada seseorang yang ingin kusampaikan terima kasih secara khusus. Ia datang dengan kamera, tapi yang ia bawa pulang bukan hanya foto — melainkan cerita tentang bagaimana rumah bisa mengembalikan kita kepada diri sendiri. Elsa, mau ke sini sebentar?”

Semua mata menoleh. Elsa terkejut, lalu menatap Adit yang tersenyum di atas panggung. Dengan jantung berdebar, ia melangkah maju.

Cahaya lampion jatuh lembut di wajahnya saat ia naik ke panggung. Adit menyerahkan mikrofon padanya.

“Ceritakan sedikit, Els,” katanya. “Tentang apa arti rumah ini bagimu.”

Elsa menarik napas dalam-dalam. Semua orang diam. Ia menatap rumah itu — rumah yang dulu lapuk, sekarang bersinar dalam cahaya malam.

“Rumah ini,” katanya pelan, “awalnya hanya proyek pekerjaan. Tapi semakin lama aku di sini, aku sadar... yang kupulihkan bukan hanya dinding dan ukiran, tapi juga diriku sendiri.”

Beberapa orang tersenyum, beberapa menunduk haru.

“Aku datang ke sini dengan banyak luka,” lanjut Elsa. “Dengan ambisi, dengan rasa takut, dengan pertanyaan yang tak punya jawaban. Tapi rumah ini, dan semua orang di desa ini, mengajariku arti kata ‘pulang’. Bahwa pulang bukan sekadar tempat, tapi rasa yang tumbuh ketika kita berani mencintai lagi.”

Tepuk tangan menggema, tapi Elsa belum selesai. Ia menatap Adit, matanya lembut tapi mantap.

“Dan di antara semua hal yang kupelajari, satu hal paling penting adalah... kadang, yang kita cari di ujung dunia ternyata sedang menunggu di depan mata — dalam bentuk seseorang yang tidak pernah pergi.”

Suara tepuk tangan berubah jadi sorak kecil. Wajah Adit memerah, tapi senyumnya tulus.

Setelah pidato itu, acara berlanjut dengan musik dan tawa. Anak-anak menyalakan kembang api kecil, orang-orang makan bersama di bawah lampion. Elsa berjalan ke belakang panggung, mencari udara.

Dari sana, ia bisa melihat langit penuh bintang.

Langit itu dulu saksi ketika ia datang dengan hati ragu. Sekarang, langit yang sama menyaksikan dirinya berdiri dengan keyakinan baru.

Suara langkah mendekat. Adit muncul, membawa dua botol air mineral.
“Sudah terkenal sekarang,” katanya sambil menyerahkan satu botol.
Elsa tertawa. “Ah, itu cuma pidato kecil.”
“Pidato yang membuat separuh warga meneteskan air mata.”
Elsa pura-pura cemberut. “Kamu juga?”
Adit pura-pura menatap jauh. “Mungkin sedikit.”

Mereka tertawa bersama.

Lalu hening datang di antara mereka, tapi bukan hening canggung. Hening yang nyaman, seperti diam antara dua lagu yang indah.

Adit berkata pelan, “Besok, setelah semua ini selesai… apa rencanamu?”
Elsa menatapnya. “Aku mau tinggal beberapa minggu lagi. Mau menulis dan menyusun buku tentang proyek ini.”
“Dan setelah itu?”
“Mungkin aku akan ke kota sebentar, bertemu Reza untuk finalisasi artikel. Tapi aku akan kembali.”

Adit menatapnya lama. “Kembali?”
Elsa mengangguk. “Iya. Rumah ini masih butuh dirawat. Dan mungkin... aku juga.”

Beberapa saat kemudian, lampion terakhir dilepaskan. Semua orang menengadah, melihat cahaya kecil itu melayang ke langit.

Adit dan Elsa berdiri berdampingan, tangan mereka hampir bersentuhan. Lampion naik perlahan, lalu hilang di antara bintang-bintang.

“Aku suka simbolnya,” kata Adit. “Cahaya kecil yang tetap naik, bahkan setelah dilepaskan.”
Elsa mengangguk. “Ya. Mungkin itu artinya, kita nggak benar-benar kehilangan apa pun saat melepaskan. Kita cuma mengubah bentuknya.”

Adit tersenyum. “Dan sekarang, rumah ini sudah punya panggung terakhirnya.”
Elsa menatapnya. “Panggung terakhir?”
“Ya. Karena mulai besok, rumah ini nggak lagi butuh sorotan. Ia sudah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang. Sama seperti kamu.”

Elsa menatap ke arah rumah itu. Di bawah cahaya lampion yang tersisa, dinding kayu tampak berkilau lembut — seperti hidup.

Ia berbisik, “Kalau begitu, panggung terakhir ini bukan tentang perpisahan. Tapi tentang awal baru.”

Malam semakin larut. Satu per satu warga pamit. Hanya Elsa dan Adit yang masih duduk di tangga depan rumah. Suara jangkrik mengisi sela-sela keheningan.

“Dit,” kata Elsa pelan, “kalau nanti buku ini selesai, aku mau judulnya Panggung Restorasi Terakhir.”
Adit tersenyum. “Kenapa judul itu?”
“Karena di sini, aku belajar bahwa setiap panggung punya akhirnya. Tapi akhir bukan berarti hilang — kadang itu cuma bentuk lain dari keberlanjutan.”

Adit mengangguk. “Dan apa kamu tahu panggung terbesarku?”
Elsa menatap penasaran. “Apa?”
Adit menatap matanya dalam. “Kamu.”

Elsa menahan napas. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti pelukan yang lama dinanti.

Ia tidak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu menatap kembali rumah mereka — rumah yang kini berdiri sebagai saksi segalanya.

Adit berdiri, menatap langit. “Kita berhasil, Els. Rumahnya, proyeknya, dan mungkin... kita juga.”
Elsa berdiri di sampingnya. “Mungkin ya. Tapi aku rasa ini baru permulaan.”

Mereka berdiri berdampingan, menatap rumah yang bersinar di bawah cahaya bulan.

Dan di tengah malam yang tenang itu, Elsa menyadari sesuatu:
bahwa setiap rumah yang selesai dipulihkan, selalu meninggalkan ruang kosong kecil di hati — bukan untuk diisi ulang, tapi untuk diingat.

Panggung terakhir telah usai.
Namun kisahnya baru saja dimulai.

0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 15 Panggung Restorasi Terakhir"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel