-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 14 Dua Pilihan, Satu Hati

Langit pagi itu biru muda, bersih seperti lembaran kertas baru. Udara di desa terasa lebih tenang dari biasanya, dan di setiap sudut rumah adat itu, aroma kayu dan bunga kamboja masih memenuhi udara. Elsa berdiri di depan rumah sambil memandangi papan kecil bertuliskan 

“Pameran Foto: Jejak Rumah yang Pulang”. Huruf-hurufnya ia lukis sendiri semalam, dengan tangan bergetar karena gugup dan bahagia sekaligus.

Hari ini adalah hari pembukaan pameran kecil yang sudah lama ia rencanakan  bukan di kota, bukan di galeri besar, tapi di rumah ini. Rumah yang telah menjadi saksi perjalanannya, keputusannya, dan cintanya.

Orang-orang desa mulai berdatangan: anak-anak sekolah, warga, bahkan beberapa rekan fotografer dari kota yang penasaran dengan proyek Elsa.

Di antara keramaian itu, Adit berdiri di dekat pintu masuk, mengenakan kemeja putih sederhana dan senyum yang sejak dulu membuat suasana jadi tenang.

“Elsa, tamunya sudah mulai ramai. Siap?” tanya Adit sambil menyerahkan brosur kecil.

Elsa menarik napas panjang. 

“Siap. Tapi jujur, jantungku seperti mau lepas.”

Adit tertawa kecil. 

“Itu tandanya kamu benar-benar peduli.”

Elsa membalas senyumnya. “Atau terlalu takut gagal.”

“Tidak mungkin gagal kalau kamu sudah jujur dari hati.”

Kata-kata Adit membuat Elsa menatap ke arah ruangan pameran. 

Dindingnya dipenuhi foto-foto yang diambil sejak hari pertama restorasi: tangan para tukang, ukiran yang mulai dibersihkan, cahaya senja yang jatuh di antara jendela tua, dan wajah-wajah orang desa yang membantu tanpa pamrih. 

Di tengah ruangan, ada satu foto besar yang paling disukai Elsa gambar dirinya dan Adit sedang tertawa di bawah hujan pertama setelah atap rumah selesai dipasang.

Foto itu seolah merangkum semuanya: kerja keras, tawa, dan rasa yang tak bisa diucapkan.

Tamu-tamu mulai berkeliling. Beberapa memberi komentar, sebagian hanya diam menikmati. 

Elsa berjalan perlahan di antara mereka, menyapa, menjelaskan sedikit latar belakang tiap foto.

Ia merasa setiap langkahnya seperti mengulang perjalanan panjang menuju titik ini.

Di tengah keramaian itu, seorang pria berjas hitam muncul di pintu masuk. 

Elsa mengenalnya seketika Reza, editor majalah luar negeri yang dulu menawarinya kontrak besar.

“Reza?” Elsa nyaris tak percaya. “Kamu datang jauh-jauh ke sini?”

Pria itu tersenyum sopan. 

“Tentu saja. Aku penasaran, Elsa. Kamu menolak tawaran besar hanya demi... ini.”

Ia menatap sekeliling ruangan. Nada suaranya tidak menghina, tapi ada rasa heran yang jelas.

Elsa menegakkan tubuhnya. 
“Ini bukan hanya pameran kecil. Ini bagian dari siapa aku.”

Reza menatapnya lama, lalu mengangguk. “Aku mengerti sekarang. Tapi aku juga membawa kabar.” 

Ia mengeluarkan amplop tipis dari tasnya. “Majalah masih ingin karyamu. Mereka akan memuat foto-foto proyek ini  bukan sebagai laporan internasional, tapi sebagai kisah pribadi seorang fotografer yang memilih untuk pulang.”

Elsa terdiam. Tangannya bergetar saat menerima amplop itu. “Aku… nggak tahu harus bilang apa.”

“Bilang saja kamu senang,” ujar Reza sambil tersenyum tipis. 

“Kamu tidak perlu memilih antara karier dan rumah, Elsa. Dunia kadang menghargai kejujuran lebih dari ambisi.”

Adit, yang berdiri tak jauh, mendekat dengan wajah penuh tanda tanya. “Temanmu?”

Elsa menjelaskan singkat. “Ini Reza, editorku dulu.”

Adit mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah datang. Pameran ini banyak berarti untuknya.”

Reza membalas jabatannya. 

“Aku bisa lihat itu. Dia menemukan sesuatu di sini yang bahkan tak bisa kami tawarkan di luar sana.”

Setelah berbincang sebentar, Reza berpamitan. Tapi sebelum pergi, ia berbisik kepada Elsa, 

“Kamu mungkin punya dua dunia sekarang, tapi satu hati akan selalu tahu di mana ia merasa hidup. Jangan takut memiliki keduanya.”

Sore menjelang. Matahari turun perlahan, dan pameran mulai sepi.

Hanya tersisa beberapa pengunjung, suara anak-anak bermain di luar, dan langkah Adit yang mendekat dari arah dapur membawa dua gelas teh hangat.

“Capek?” tanyanya lembut.

Elsa duduk di tangga depan, mengangguk sambil tersenyum.

 “Capek, tapi bahagia. Rasanya… seperti semuanya akhirnya terbayar.”

Adit duduk di sampingnya. “Aku lihat kamu tadi bicara dengan pria berjas hitam itu. Ada apa?”

Elsa menyeruput teh sebelum menjawab. 

“Dia bawa kabar baik. Foto-foto pameran ini akan dimuat di majalah internasional. Tapi bukan tentang proyek besar tentang perjalanan pribadi. Tentang pulang.”

Adit menatapnya lama. “Berarti kamu bisa tetap dikenal, tanpa harus pergi jauh.”

Elsa mengangguk. “Ya. Aku bisa tetap jadi diriku, tanpa meninggalkan tempat ini.”

Hening sejenak. Angin senja bertiup lembut. Burung-burung mulai pulang ke sarang.

Adit menatap langit, lalu berkata pelan, “Jadi, kamu sudah benar-benar yakin?”

Elsa menoleh. “Tentang apa?”

“Bahwa kamu memilih tinggal. Bahwa kamu memilih... kita.”

Elsa menatap wajahnya yang diterangi cahaya lembut matahari terakhir hari itu. 

“Adit, aku pernah berpikir hidup adalah tentang pilihan besar. Tapi ternyata, hidup adalah tentang keberanian untuk terus memilih setiap hari  meski antara dua hal yang sama-sama berharga.”

Adit tersenyum. “Dan hari ini kamu memilih?”

Elsa menatap ke arah rumah, lalu ke arah Adit.
“Aku memilih keduanya  impianku dan kamu. Karena hatiku cukup besar untuk menampung dua cinta sekaligus: cinta pada dunia, dan cinta pada rumah ini.”

Adit tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu meraih tangan Elsa. Sentuhannya hangat, stabil, seperti tanah di bawah kaki yang tidak pernah menolak langkah siapa pun.

Malam turun perlahan. Di ruang pameran, lilin-lilin kecil menyala, memantulkan cahaya lembut ke dinding kayu. 

Foto-foto terlihat seperti hidup, seakan setiap gambar memancarkan cerita yang tak pernah selesai.

Elsa berdiri di tengah ruangan, sendirian kali ini. 

Ia menatap satu foto terakhir  foto burung berukir di dinding rumah, yang dulu ia dan Adit kagumi bersama. 

Dua burung yang berhadapan, sayapnya hampir bersentuhan.

“Dua pilihan, satu hati,” bisiknya pelan.

Ia sadar kini: bukan tentang meninggalkan atau bertahan, tapi tentang menggabungkan dua arah menjadi satu langkah. 

Dunia luar tetap menantinya, tapi rumah ini telah menanam akar di dalam jiwanya. Ia tidak harus memilih, karena yang ia cari bukan salah satu  melainkan keseimbangan.

Adit masuk diam-diam dari belakang. “Kamu bicara sendiri lagi?”

Elsa tersenyum, menoleh. “Kali ini bukan bicara sendiri. Aku cuma berterima kasih.”

“Untuk apa?”

“Untuk rumah ini. Untuk keberanianmu. Untuk tidak pernah memaksaku memilih.”

Adit mendekat, menatapnya dalam. 

“Aku juga berterima kasih karena kamu tetap tinggal, walau kamu tahu dunia di luar sana masih menunggu.”

Mereka berdiri berdua di tengah ruangan, di antara foto-foto yang menjadi saksi perjalanan mereka. 

Di luar, angin malam menggesek dedaunan, menciptakan irama lembut yang seperti ucapan selamat tinggal pada masa lalu.

Elsa bersandar pelan di bahu Adit.

“Dit,” katanya pelan, “kalau nanti aku pergi lagi, kamu akan marah?”

Adit menggeleng. “Tidak. Karena aku tahu, kali ini kamu akan selalu pulang.”

Elsa tersenyum. “Dan kamu akan tetap di sini, menjaga rumah ini, kan?”

“Selalu.”

Mereka terdiam cukup lama, menikmati suara jangkrik dan nyala lilin yang bergetar halus. Dalam diam itu, Elsa merasa dunia akhirnya berhenti bertanya. 

Tak ada lagi perdebatan antara karier dan cinta, antara pergi dan tinggal.

Karena di titik ini, ia sudah menemukan tempat di mana keduanya bisa hidup berdampingan.

Hatinya tenang.

Pagi berikutnya, matahari menembus jendela, memantulkan cahaya ke foto-foto di dinding. 

Elsa membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara segar masuk. Adit sudah di halaman, menyiram bunga dengan wajah cerah.

“Pagi,” sapa Elsa.

“Pagi juga, fotografer dunia,” jawab Adit sambil tersenyum.

Elsa tertawa kecil. “Aku bukan fotografer dunia. Aku fotografer rumah.”

Adit menatapnya. “Rumah yang kamu bangun sendiri.”

Elsa mengangguk. “Rumah yang aku temukan setelah kehilangan banyak hal. Tapi mungkin memang harus begitu, ya? Kadang kita harus tersesat dulu untuk tahu ke mana kita ingin pulang.”

Adit meletakkan selangnya, mendekat, dan menggenggam tangan Elsa. “Sekarang kamu sudah tahu jalannya.”

Elsa menatap mata Adit. Di sana, ia melihat segala hal yang dulu ia cari di dunia luar: kedamaian, keberanian, dan cinta yang tidak menuntut.

“Ya,” katanya lembut. “Sekarang aku tahu.”

Lebih Lengkap:

https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp


0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 14 Dua Pilihan, Satu Hati"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel