Setelah Senja Berlabuh Bab 13 Langkah Kecil Menuju Keputusan
Senja hari itu datang perlahan, menumpahkan warna oranye pucat di langit desa. Rumah adat yang selama berminggu-minggu direstorasi oleh Elsa dan Adit sudah hampir selesai; hanya beberapa sentuhan akhir di bagian ukiran dan taman depan yang masih perlu dirapikan. Dari jendela loteng, Elsa melihat Adit berdiri di halaman, tangannya terlipat, memperhatikan para tukang yang sedang menata bebatuan di jalan setapak.
Ada sesuatu yang tenang sekaligus menegangkan di dalam diri Elsa seperti udara menjelang hujan. Ia tahu waktu untuk mengambil keputusan sudah semakin dekat. Kontrak dari majalah internasional itu menunggu jawabannya sebelum akhir minggu.
Elsa menarik napas, lalu menuruni tangga kayu. Langkahnya terdengar lembut di antara suara palu dan serutan kayu. Saat Adit menoleh dan tersenyum, hatinya langsung menghangat.
Adit tertawa pelan. “Rumah ini memang keras kepala. Sama seperti pemiliknya.”
Elsa ikut tertawa, meski dalam hati ia tahu maksudnya lebih dalam dari sekadar candaan. Beberapa minggu terakhir, mereka seperti hidup di dua dunia satu penuh rencana dan impian, satu lagi penuh akar dan kenangan.
“Lihat ini,” ujar Adit sambil menunjuk panel ukiran yang baru selesai. “Motif ini dari dinding tengah. Aku minta tukang buat ulang sesuai foto yang kamu ambil waktu awal proyek.”
Adit menatapnya dengan lembut. “Mungkin karena kamu mulai mengerti maknanya.”
Elsa mengangguk pelan. “Atau mungkin karena aku mulai mengerti diriku sendiri.”
Suara tukang di luar memanggil Adit, membuat percakapan mereka terhenti. Namun kata-kata itu menggantung di udara. Elsa menatap ukiran burung-burung itu lama, seolah melihat pantulan dirinya sendiri dan keputusan yang sedang menunggu di ujung waktu.
Sore menjelang malam. Pekerjaan selesai lebih cepat dari biasanya karena hujan mulai turun dari arah perbukitan. Elsa dan Adit berteduh di teras depan. Hujan rintik-rintik membasahi daun pisang dan atap seng di rumah seberang.
Elsa menatap halaman yang baru saja ditanami rumput. Bau tanah basah menyeruak, dan suara air yang menetes dari genting terdengar seperti detak waktu.
Elsa tersenyum samar. “Masih mencoba jujur sama diri sendiri.”
Adit memandang jauh ke arah sawah di seberang. “Kadang, kejujuran paling sulit bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri.”
Elsa mengangguk. “Benar. Aku dulu berpikir kalau aku terus pergi, aku akan lebih bebas. Tapi ternyata... di sini aku justru merasa lebih hidup.”
Adit menatapnya dalam. “Kamu nggak harus memilih dengan terburu-buru. Tapi kalau kamu pergi, aku harap kamu pergi karena ingin, bukan karena takut kehilangan sesuatu di sini.”
Kata-katanya menembus seperti hujan yang jatuh perlahan, tapi terus mengenai titik yang sama. Elsa hanya bisa terdiam, membiarkan keheningan menjawab segalanya.
Keesokan paginya, udara lebih cerah. Elsa berjalan ke studio kecil di belakang rumah, tempat ia menyimpan kamera dan hasil foto dokumentasi restorasi. Cahaya pagi menembus jendela, menyoroti bingkai-bingkai kayu yang tergantung.
Ia menatap satu foto Adit sedang berdiri di tangga kayu, tangannya penuh debu, senyum di wajahnya lepas. Di belakangnya, rumah ini tampak setengah jadi. Elsa memegang foto itu lama.
Dalam hati ia bertanya: apa aku siap meninggalkan semua ini lagi?
Adit meletakkan kopi di meja. “Semua hasilmu bagus. Tapi kayaknya yang kamu pilih bukan cuma foto, ya?”
Elsa memutar bola mata, tapi hatinya terasa hangat.
“Mungkin kamu benar. Tapi sekarang langitnya nggak selalu memberi jawaban.”
Adit duduk di kursi seberang.
“Kadang jawaban nggak datang dari langit, tapi dari langkah kecil yang kita berani ambil.”
Sore itu mereka menata kembali taman belakang. Elsa memotret bebatuan, sementara Adit menata pot dan rumput. Matahari condong ke barat, dan langit memantulkan warna senja keemasan.
Adit tersenyum tipis. “Aku harap suratnya nggak hanya tentang rumah ini, tapi juga tentang siapa yang membuat kamu ingin tetap di sini.”
Elsa menunduk, pura-pura merapikan kameranya. Pipinya hangat, dan ia tidak yakin karena matahari atau karena kata-katanya.
Malam datang perlahan. Mereka duduk di tangga depan rumah, di bawah langit yang penuh bintang. Hujan sore menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan.
“Lucu ya,” ucap Elsa, “dulu aku takut pulang karena kupikir aku akan merasa terjebak. Sekarang aku malah takut pergi karena takut kehilangan rasa ini.”
Adit menarik napas panjang. “Elsa, aku nggak akan minta kamu tinggal kalau itu bikin kamu kehilangan impian. Tapi aku juga nggak akan pura-pura kuat kalau kamu pergi. Aku cuma mau kamu tahu, rumah ini dan aku akan selalu terbuka.”
Angin malam membawa aroma basah yang akrab. Elsa merasa dadanya sesak — tapi bukan karena sedih, melainkan karena terlalu banyak yang ingin ia katakan.
Keesokan harinya, Elsa berdiri di depan laptop. Email dari kantor majalah masih terbuka. Kursor berkedip di kolom balasan. Ia menatap jendela, melihat halaman rumah, mendengar suara tukang, suara ibunya di dapur, dan tawa anak-anak di jalan.
Tangannya mulai mengetik:
Dear Editor,Terima kasih atas tawaran dan kesempatan yang luar biasa. Setelah pertimbangan panjang, saya memutuskan untuk tetap melanjutkan proyek saya di Indonesia dalam waktu dekat. Saya percaya bahwa setiap perjalanan memiliki waktu dan tempatnya sendiri. Mungkin suatu hari nanti, kita akan bekerja sama lagi dengan cerita yang lebih matang, lebih penuh makna.Salam hangat,Elsa
Ia menatap kalimat itu lama sebelum akhirnya menekan tombol Send.
Begitu email terkirim, rasanya seperti beban di dadanya ikut terangkat. Elsa menutup laptop, lalu berjalan keluar rumah.
Adit tersenyum. “Berarti kamu sudah menemukan jawabannya.”
“Dan langkah kecilmu?” tanya Adit dengan senyum hangat.
Elsa menatapnya lama, lalu menjawab pelan, “Langkah kecilku adalah memilih tinggal bukan karena aku takut kehilangan, tapi karena aku akhirnya tahu di mana aku benar-benar pulang.”
Adit tidak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Elsa perlahan, dan untuk pertama kalinya sejak Elsa kembali ke desa, ia merasa seluruh waktu berhenti di antara genggaman itu.
Lebih Lengkap:
https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp
.png)
0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 13 Langkah Kecil Menuju Keputusan"
Post a Comment