Vampire Stories X Episode 4: “Ratu Manja” dan Pedang Bayangan
Waktu dalam cerita: Malam ke-230
Tempat: Sayap pelayanan kastil, halaman dalam, dapur, balkon pribadi Elhira
Malam Tak Lagi Menakutkan
Telah berlalu beberapa bulan sejak pertengkaran hebat antara X dan Elhira. Waktu di kastil tidak berubah: selalu gelap, dingin, dan berdarah. Namun, bagi X, sesuatu di dalam dirinya telah bergeser.
Ia tak lagi merasa seperti pelayan.
Ia mulai berjalan tegak. Tak lagi melengkung ketakutan di bawah bayang-bayang vampir. Bahkan langkahnya kini punya irama. Ia sudah hafal semua lorong, semua suara pintu, semua titik tempat obor menyala.
Dan Elhira…
Sang putri vampir itu tidak pernah berhenti mengganggu. Tapi berbeda dari sebelumnya, kini ia lebih seperti… bermain.
Godaan, Perang Mulut, dan Balasan X
Kadang Elhira muncul tiba-tiba saat X sedang mengangkat baki makanan.
“Oh tidak! Baki itu terlalu berat untuk manusia kecil. Ingin kubantu… menjatuhkannya?”
BRAK! — Darah tumpah ke lantai lagi.
Atau saat X sedang menyapu dapur:
“Ups, sepertinya ada serangga raksasa di lenganmu!”
— dan ia menaruh belalang mati di bahu X.
Tapi X tak lagi mengamuk. Kini, ia tersenyum sinis.
“Yang Mulia Ratu Manja hari ini terlihat kesepian. Tak ada darah segar untuk dimainkan?”
“Atau ayahmu tak izinkan kau keluar malam?”
“Berani sekali kau bicara begitu padaku, manusia!”
kata Elhira, walau mulutnya melengkung menahan tawa.
Suatu malam, ia terlalu mengganggu — menaruh lintah di seprai tempat tidur X. Maka X membalas:
“Saatnya mandi, Yang Mulia.”
Dan ia menyiramkan seember air dingin ke tubuh Elhira di lorong atas — basah kuyup dari kepala sampai ujung kaki.
Elhira berteriak.
“KAUUU!!”
Tapi X sudah kabur, sambil tertawa, meninggalkan jejak basah di lantai.
Insiden Bawang Putih
Hari berikutnya, Elhira mengancam akan membalas.
Maka X diam-diam menaruh sejumput bawang putih bubuk ke dalam pudding darah yang disiapkan untuk makan malam Elhira.
Saat Elhira mengambil sendok pertama, ia langsung tersedak.
“GHHHKK!! APA INI!?”
Ia menjilat lidahnya seperti kucing basah, meludah ke lantai dan melempar piring ke dinding.
“BAWANG PUTIH!? KAU BERANI MEMBERIKU BAWANG PUTIH!?”
Ia berlari ke ruang singgasana, mengadu ke ayahnya:
“Ayah! Pelayanmu itu memberi aku… BAWANG!!”
“Dia harus dihukum! Setidaknya dicabut kukunya satu-satu!”
Raja Vampir hanya mendesah pelan dari singgasananya, lalu menatap X yang berdiri di ujung aula.
“Putriku,” katanya datar,
“kau sudah 300 tahun. Jika manusia kecil bisa mempermainkanmu, mungkin kau memang layak dibuatkan tempat duduk di dapur.”
“APA!?” teriak Elhira.
Tapi Raja hanya melambaikan tangan.
“Jangan buat aku menghukum kalian berdua.”
Dan seperti itu, X lolos… lagi.
Makanan Sisa Vampir
Meski ia masih pelayan, kini X mendapat jatah makanan tiga kali sehari. Ia makan dari piring bekas vampir, makanan berdarah yang bahkan kadang masih hangat. Awalnya menjijikkan.
Namun kini?
“Hmm… daging ini lebih lembut dari biasanya,” gumam X sambil mengunyah.
“Ini… hati manusia?”
Ia sudah tidak mual lagi. Bahkan ada malam-malam saat ia merasa lapar… untuk bau darah.
Beberapa kali ia tak sengaja menjilat luka sendiri terlalu lama. Lidahnya mulai terbiasa dengan rasa besi.
“Aku… apa aku mulai jadi kanibal…?”
bisiknya suatu malam di kamar. Tapi ia tak berhenti makan.
Latihan Rahasia
Setiap malam setelah semua pekerjaan selesai, X menyelinap ke halaman dalam — tempat yang sepi dan gelap. Ia membawa tongkat pel yang sudah patah ujungnya dan mulai berlatih.
Langkah. Putar. Tikam. Serang.
Gerakannya perlahan, penuh irama. Tapi ada presisi. Seolah tubuhnya pernah belajar, meski pikirannya tidak ingat.
Kadang ia sendiri terkejut akan kecepatan tangannya. Kadang kakinya bergerak lebih cepat dari yang ia rencanakan.
“Apa… aku dulu pernah berlatih? Atau ini karena darah… vampir di sekitarku?”
Pengamatan Sang Raja
Di balik jendela atas ruang singgasana, Raja Vampir berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan.
Ia melihat X berlatih setiap malam.
Ia melihat bagaimana anaknya tidak lagi menggigit X, bahkan malah mencari-cari alasan untuk muncul.
Dan ia mulai melihat bahwa darah X tidak seperti manusia biasa.
“Menarik…”
gumamnya suatu malam.
Kedekatan yang Aneh
Hubungan X dan Elhira kini seperti perang kecil yang berlangsung terus-menerus. Kadang saling mengejek, kadang saling melempar barang. Tapi… anehnya, mereka tidak lagi saling benci.
Di malam pesta vampir, X kini sering menjadi pelayan pribadi Elhira. Ia membawa gelas darah ke kamarnya, menyisir rambutnya (meski sambil berkomentar):
“Ah rambut Ratu Manja kusut seperti sarang kelelawar malam.”
Dan Elhira hanya melempar sisir ke arah wajah X.
Dialog Sore Gelap
Suatu malam mereka duduk di balkon, menghadap jurang gelap tak berbintang.
“X,” kata Elhira pelan.
“Kau tak takut lagi padaku?”
“Kalau aku takut, aku sudah mati sejak bulan pertama,” jawab X.
“Sekarang? Aku takut pada langit... karena aku tidak tahu warnanya.”
Elhira diam.
“Langit? Biru, kadang hitam, kadang merah. Aku hanya pernah lihat sekali.”
“Kau hidup ratusan tahun tapi tak pernah keluar?” tanya X.
“Ayah tidak izinkan,” gumam Elhira.
X menatapnya.
Ia tak tahu mana yang lebih menyedihkan: hidup sebagai pelayan… atau hidup sebagai putri vampir yang tak pernah bebas.
(To be Continued)
Episode Sebelumnya (Episode 3: Pertengkaran Status)
Episode Selanjutnya Episode 5: Antara Dua Dunia
.png)
0 Response to "Vampire Stories X Episode 4: “Ratu Manja” dan Pedang Bayangan"
Post a Comment