Pagi keenam setelah proyek restorasi mencapai tahap akhir, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah atap kayu rumah adat dan memantul ke permukaan ukiran yang masih menampakkan bekas pekerjaan tangan. Elsa berdiri di teras, memandangi dua benda kecil yang kini digenggamnya: amplop dari majalah yang membawa tawaran luar negeri, dan gantungan hati kayu yang dipahat dengan inisial E + A. Dua jalan terbentang satu ke luar kota, satu ke akar yang telah diperkuat.
Langkah-langkahnya menuju ruang kerja terasa lambat namun pasti.
Kamera digital masih tergeletak di meja, bingkai-bingkai foto dokumentasi menunggu penyusunan, dan laptop terbuka dengan pesan elektronik yang belum di-send. Dengan tangan gemetar, amplop putih digenggam di atas tumpukan dokumen proyek.
Hati Elsa terasa berat, seperti telah mencambuk dirinya sendiri: apakah yang benar adalah pergi atau tinggal?
Adit menemukan Elsa tengah memandangi jendela besar yang menatap sawah dan perbukitan. “Pagi,” katanya ringan, menyodorkan cangkir teh panas.
Tidak ada nada pertanyaan hanya kehadiran yang hangat. Elsa menerima, memejamkan mata sejenak menikmati uap yang mengepul.
“Terima kasih,” bisiknya pelan. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti penegasan.
“Kita punya waktu sebelum tukang datang,” lanjut Adit.
“Kalau kamu mau kita bisa jalan sedikit ke lereng, lihat matahari terbit.”
Elsa menoleh, sejenak tersenyum. “Baik.” Ia meletakkan teh di pegangan teras lalu turun bersama Adit ke jalan setapak yang kini tertata rapi.
Udara pagi masih sejuk, embun di rerumputan menyapa dengan gemericik lembut saat mereka melewati bebatuan yang baru dipasang.
Di kejauhan, senja malam sebelumnya masih terasa tinggal di udara—bayangan lampion, tawa warga, musik tradisional.
Namun sekarang pagi menghadirkan keheningan, cocok untuk pengambilan keputusan.
Mereka berhenti di lereng kecil, memandang matahari yang perlahan terbit dari balik perbukitan.
Adit berdiri sedikit di depan, membiarkan Elsa menikmati pemandangan. Setelah beberapa saat, ia bertanya, “Bagaimana perasaanmu hari ini?”
Elsa menghela napas panjang. “Ada bagian yang rindu akan kota. Ada bagian lain yang takut jika pergi berarti kehilangan semua yang telah dibangun di sini.”
“Apa yang paling membuatmu takut?”
“Hilangnya rasa ‘pulang’,” jawab Elsa tanpa menunduk. “Jika pergi, rumah ini dan hidup yang mulai terasa benar akan seperti selamat tinggal yang belum sepenuhnya dikatakan.”
Senja berubah menjadi pagi penuh cahaya. Adit mengulurkan tangan, mengajak Elsa berjalan menyusuri pagar kayu yang mengelilingi halaman rumah. “Kamu tahu,” katanya pelan, “tawaran itu besar.
Tapi apa yang membuat kamu merasa bahwa tinggal lebih besar lagi?”
Elsa berhenti dan menatap ukiran di tiang pagar burung-burung yang dahulu mereka diskusikan bersama. “Karena di sini, restorasi ini bukan hanya pekerjaan.
Ini wujud bagaimana akar dan impian bisa berdansa bersama. Jika pergi, impian mungkin tetap ada, namun akar akan tertinggal.”
Adit menatapnya dalam. “Jadi kamu memilih tinggal karena akar, bukan karena tak punya pilihan?”
Elsa mengangguk. “Benar. Pilihan itu harus datang dari tempat yang memang ingin dirajut, bukan karena terpaksa.”
Mereka melanjutkan langkah ke ruang kerja Elsa.
Di sana, laptop terbuka dengan pesan yang belum dijawab.
Amplop tergeletak di samping mouse. Elsa duduk, menatap skrinnya.
Di luar jendela, suara tukang mulai muncul: detak palu kecil di jauh. Waktu terus berjalan.
Adit duduk di kursi sebentar, lalu berkata, “Kamu ingin aku pergi sebentar agar kamu bisa sendiri dengan keputusanmu?”
Elsa mengangkat pandangannya. “Tidak,” jawabnya. “Kamu di sini. Karena keputusan ini juga menyangkut kita rumah ini, kita, dan masa depan.”
Adit tersenyum lembut. “Baik.”
Dengan jari ringan, Elsa menggerakkan kursor ke kotak balasan.
Kata-kata di amplop menunggu untuk hidup. Pikiran melayang ke saat ketika rumah ini masih derita, ketika kayu lapuk, atap bocor, dan ia merasa terasing dari akar sendiri.
Sekarang semua telah berubah tapi apakah perubahan itu memerlukan kepergian? Atau justru kedalaman di tempat yang sama?
Sejenak, ia teringat tangisan ibunya, senyum anak-anak desa yang menyalak lampion, dan tatapan sahabat masa kecil yang kini jadi lebih dari sekadar sahabat.
Adit. Bayangan kedekatan yang tumbuh dari kerja keras, pengertian, dan rasa saling menghargai. Apakah sebuah kontrak di luar kota bisa menandingi semua itu? Mungkin tidak.
Elsa menutup laptop, lalu berdiri. “Surat jawabannya akan dikirim,” katanya mantap.
“Tapi bukan karena memutuskan pergi. Surat itu akan dikirim agar pintu tetap terbuka kalau memang suatu hari harus ada perjalanan.
Namun untuk sekarang, rumah ini dan kamu adalah prioritas.”
Adit berdiri dan memeluknya perlahan. “Pilihan yang paling sulit sering adalah yang paling benar,” bisiknya di telinganya.
Elsa menutup mata sebentar meresapi pelukan itu hangat, nyata, dan penuh arti.
Sore menjelang, rumah itu tampak lengkap taman, ukiran, bebatuan, lampion sisa malam kemarin. Suara desa terdengar lembut: tawa anak-anak, suara rahasia tukang yang membersihkan alat, burung yang kembali ke sarang.
Elsa berjalan ke teras belakang, membawa dua cangkir teh. Ia menatap Adit yang duduk di tangga, menyerahkan satu gelas, lalu duduk di sampingnya.
“Jadi,” kata Adit sambil menyesap teh, “kamu memilih tinggal.”
Elsa menatap gelasnya, kemudian ke arah halaman. “Ya. Karena tinggal bukan berarti berhenti. Tinggal bisa berarti berkembang dengan akar yang kuat, bukan hanya sayap yang luas.”
Adit mengangguk. “Dan kita?”
“Membangun bersama. Rumah ini memang warisan, tapi dari sekarang juga jadi kita wariskan satu sama lain.”
Adit menggenggam tangannya. “Dengan senang hati.”
Malam tiba, dan lampion-lampion kecil mulai bergoyang di angin lembut. Elsa berdiri di tengah halaman, memalingkan wajah ke langit yang mulai diterangi bintang.
Sebuah kunci kayu tergantung di pintu kecil gudang, dan gantungan hati menempel di dinding. Dua simbol yang kini telah menemukan tempatnya.
Dua jalan yang telah terpilih satu.
Adit berdiri di sampingnya, tanpa kata.
Cukup kehadiran yang berbicara. Senja terakhir itu dipenuhi cahaya keemasan yang seakan membungkus rumah dan mereka dalam satu pelukan.
Elsa tahu: keputusan memilih tinggal bukan akhir dari langkah-langkah yang ada. Ini permulaan babak baru.
Di halaman yang tenang, di antara aroma kayu baru dan tanah yang pulih, sesuatu yang lama akhirnya mendapat makna baru.
Malam semakin malam, dan suara alam kembali mengambil alih: jangkrik, dedaunan yang bergesekan, riak suara sungai kecil di kejauhan. Elsa termasuk hangat dalam sisa cahaya bukan karena lampion, tapi karena keteguhan hati sendiri.
Keputusan “Pergi atau Tinggal” telah dibuat. Tinggal bukan karena tak mampu pergi. Melainkan karena menemukan bahwa di satu titik di rumah, di hatinya semua langkah menuju rumah itu bersatu.
Dan kala itu malam itu, Elsa tahu bahwa rumah itu tidak lagi sekadar tempat untuk pulang. Ia adalah tempat untuk bertumbuh.
Dengan Adit di sisinya, dan akar budaya yang kembali hidup, rumah dan hati telah menemukan panggung baru.
Lebih Lengkap:
0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 17 Pergi atau Tinggal"
Post a Comment