-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 21 Beberapa Bulan Kemudian

Musim penghujan telah berganti, meninggalkan jejak hijaunya sawah yang terbentang jauh ke kaki pegunungan. Rumah kayu adat yang dahulu berdiri dalam kolom debu dan deburan proyek kini menyapa pagi dengan aroma kamboja dan nada gamelan yang tersisa dari malam sebelumnya. Beberapa bulan telah berlalu sejak malam besar di bawah lampion  kesunyian awal telah digantikan oleh ritme kehidupan yang lembut.

Elsa keluar dari studio kecil di gudang belakang, membawa setumpuk amplop penuh cetakan foto.

Studio itu sekarang menjadi pusat aktivitas kreatif: di mana pameran terlaksana, pemuda desa belajar memotret, bahkan kolega dari kota berkirim karya untuk dikurasi di ruangan kayu sederhana. 

Hari ini menjadi pagi rutin, namun penuh makna karena setiap lembar foto adalah jejak waktu, dan setiap senyum warga desa adalah validasi dari pilihan tinggal.

Di teras depan, Adit telah menyiapkan meja kayu panjang untuk sarapan sederhana: kopi hitam, roti panggang dengan sela mentega kamboja, dan buah mangga yang dipetik di kebun sore sebelumnya.

Suara tukang kayu terdengar ringan dari garasi, ukiran baru terbentuk di bingkai foto yang akan dijual di pameran mendatang.

Anak-anak desa mengejar bermain di halaman, tertawa riang di antara pot-pot bunga dan bebatuan yang dulu diletakkan bersama.

“Pagi,” sapa Adit sambil menyerahkan satu gelas kopi.

Elsa tersenyum lembut. “Pagi. Siap untuk hari ini?”

Adit menatap mata lembut dan penuh arti. “Siap. Ini bukan sekadar bisnis. Ini tentang rumah, tentang kita.”

Elsa mengangguk. Dalam hatinya, syukur tumbuh karena setiap hari sekarang terasa seperti pulang  bukan untuk menetap sementara, tapi untuk hidup penuh.

Setelah sarapan, mereka berjalan kaki ke sisi aliran kecil di belakang rumah, tempat rebung bambu tumbuh, dan air hujan akhir musim masih mengalir dengan jernih. 

Di sana, Elsa mengambil kamera dan memotret cincin air yang muncul ketika sebuah tetes daun jatuh ke sungai kecil. Ia berkata pelan, “Perubahan kecil ini terasa penting, karena terjadi di sini.”

Adit menyandarkan bahu di sampingnya. “Karena kamu memilih tetap berada di tengah perubahan, bukan menghindarinya.”

Elsa menurunkan kameranya, dan untuk beberapa waktu, mereka hanya berdiri dalam keheningan – mendengarkan aliran air, melihat pepohonan yang kini lebih tinggi, dan merasa bahwa tinggal memang berarti bertahan sekaligus bernafas baru.

Kembali ke rumah, rencana jangka panjang kembali dibahas. Buku kumpulan foto dokumentasi dalam proses pencetakan; workshop budaya dijadwalkan untuk musim semi berikutnya; dan studio akan dibuka untuk tamu dari luar negeri yang tertarik pada restorasi dan akar budaya lokal. 

Semua itu terjadi tanpa meninggalkan rumah pusatnya tetap di desa. 

Elsa menatap jendela loteng: tempat kenangan masa lalu dan sekarang bertemu. 

Ia berpikir bahwa langkah-langkah kecil yang dulu terasa berat, sekarang menjadi biasa misalnya membuka jendela pagi, mengundang tukang kayu untuk kopi, mendiskusikan ukiran di tiang. Bukan hambatan, tapi ritme baru.

Siang itu, sebuah surat elektronik masuk: tawaran untuk mendokumentasikan potret kehidupan pedesaan di beberapa provinsi lain. 

Tapi kali ini, bukan untuk pergi, melainkan untuk merancang dan menjadi tuan rumah di studio rumah mereka menerima tamu dan artis datang ke desa. Elsa menjawab: “Pusat karya tetap di rumah ini. Dunia datang ke sini.” Pilihan bukan lagi dilematis; tinggal sekaligus memperluas makna. 

Pilihan bukan pergi atau tinggal melainkan memperluas di mana tinggal itu berarti banyak.

Malam menjelang. Warga desa berkumpul di halaman untuk malam budaya: cerita rakyat, musik gamelan, santapan sederhana. 

Pada malam ini, Elsa dan Adit berdiri di depan rumah kayu yang kini berkilau di bawah lampu senja. Wajah-wajah yang dulu hanya penonton kini menjadi bagian komunitas. 

Anak-anak yang bermain tadi siang kini membawa dupa kecil dan meletakkannya di meja panjang. 

Itu ritual sederhana untuk menghargai perjalanan mereka proyek restorasi yang telah selesai, tetapi kehidupan yang baru dimulai.

Elsa berdiri di antara tanaman kamboja dan pot-pot bunga yang tumbuh subur. Ia memandang senja yang memantul di ukiran burung berhadapan di tiang. Dalam hatinya, tatanan baru terbentuk: rumah yang dulu dibangun sebagai warisan kini menjadi warisan yang hidup untuk desa, untuk karya, untuk cinta yang tumbuh tanpa harus pergi jauh.

“Beberapa bulan yang lalu,” bisik Elsa pada Adit, “rumah ini hanya wujud proyek. Sekarang ia menjadi ruang yang memilih untuk menampung setiap langkah kita.”

Adit menggenggam tangannya. “Ruang yang memilih kita juga,” jawabnya lembut.

Dan di antara tawa warga, musik yang merentang lembut, dan aroma tanah basah musim penghujan yang mulai kering, keduanya berdiri tenang. Tidak perlu kata besar keberadaan bersama sudah cukup.

Ketukan terakhir gamelan mengakhiri malam budaya. Lampion terakhir padam, suara alam mengambil alih. 

Elsa dan Adit berjalan ke teras depan, duduk di dua kursi rotan yang menghadap halaman. Di tangan mereka satu cangkir teh dan satu botol air mineral. 

Di antara mereka, kunci kayu tergantung di tiang gudang, dan gantungan hati di dinding studio—dua simbol yang sekarang terjalin dalam kehidupan sehari-hari.

Elsa menoleh ke arah Adit. “Perjalanan kita ternyata tidak berhenti setelah restorasi selesai.”

Adit menatap balik. “Benar. Perjalanan ini terus berjalan di setiap foto yang kamu ambil, di setiap cerita yang kita tulis bersama, di setiap tawa anak-anak di desa ini.”

Senja malam itu menggulung dirinya perlahan, warna jingga meredup menjadi biru kelam. Rumah kayu berdiri terang dalam bayang­bayang, seolah hidup dalam dua dunia: dunia fisik dan dunia rasa.

Beberapa bulan kemudian, rutinitas bukan menjadi beban. Rutinitas menjadi kehidupan. 

Setiap pagi membuka pintu rumah berarti membuka kemungkinan. 

Setiap malam menutup jendela berarti menutup hari dengan syukur. Rumah tidak lagi sekadar tempat, tapi entitas rumah sebagai karya, rumah sebagai identitas.

Elsa menatap jendela loteng, lalu ke arah kebun kamboja. 

Di sana bunga mekar pelan, rambutnya tertiup angin malam, dan ia tahu bahwa akar yang tumbuh di desa ini kini memiliki cabang yang merentang ke dunia luar namun pangkalnya tidak berubah. 

Akar tetap di tanah rumah itu. Hatinya pun demikian.

Adit meraih gitar kecil dari salah satu sudut ruang teras. Ia memetik senar pelan—melodi sederhana yang pernah menjadi latar senja saat rumah baru selesai. 

Kini melodi itu terdengar kembali. Elsa tertawa kecil, mengenang malam itu, malam ketika senja memutuskan bahwa tinggal adalah pilihan paling jujur. 

Malam ini, melodi itu menjadi soundtrack untuk kehidupan yang berjalan.

Rumah barangkali tidak pernah sempurna ada retak kecil di ukiran yang sengaja dibiarkan sebagai jejak waktu, ada cat yang mulai pudar di pot bunga yang ditempatkan sejak restorasi pertama, ada pintu tua yang masih membuka dengan suara lembut kayu. 

Tetapi kerapuhan itu bukan kelemahan itu bukti bahwa rumah hidup bersama mereka yang tinggal dan mencinta.

Malam semakin larut, dan rumah kayu itu bersinar di bawah cahaya rembulan. 

Siluet atap dan tiang-tiang membentuk bayangan yang lembut di tanah basah. 

Elsa dan Adit saling berpandangan tanpa kata.

 Cukup kehadiran. Cukup jantung yang berdetak tak tergesa. 

Cukup tangan yang menggenggam.

Beberapa bulan kemudian, bukan tentang rapuh atau sempurna. Ini tentang memilih—memilih tinggal, memilih pulang, memilih cinta yang tak harus menuntut pergi. 

Rumah dan hati telah menemukan keselarasan. 

Dan di saat lampu teras dipadamkan satu per satu, dua kursi rotan kembali kosong untuk malam ini, menanti pagi yang akan datang, menanti langkah kecil yang akan diambil bersama.

Di ujung malam, ketika suara gamelan berhenti dan angin malam mengambil alih, Elsa menoleh ke jendela dan berbisik pelan, “Selamat pulang.”

Dan rumah menjawab dalam keheningan, “Terima kasih telah menetap.”


Lebih Lengkap:

https://noveltoon.mobi/id/share/5626619?_share_channel=whatsapp

0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 21 Beberapa Bulan Kemudian"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel