-->

Setelah Senja Berlabuh Bab 19 Rumah Baru di Hati Lama

Pagi yang cerah menyapa desa dengan sinar lembut. Rumah adat yang telah direstorasi berdiri kokoh di hadapan Elsa  ukiran-ukiran kayu yang dulu pudar kini memancarkan cahaya hangat, setiap tiang dan kusen bercerita tentang kerja keras, harapan, dan akar yang kembali hidup. 

Di tangannya, kamera tergantung santai, dan tas kecil berisi rencana akan pameran dan buku sudah siap. Tapi hari ini bukan soal memotret saja: hari ini tentang menetap.

Elsa berjalan ke taman belakang, di mana pot bunga membentuk lengkungan kecil menuju pintu gudang kayu. Di kelembutan udara pagi terdengar burung-berdiri di atap, dan angin meniup lembut melati di rambutnya. 

Adit telah membuka pintu gudang terlebih dahulu, mengundang Elsa masuk. Di ruang kecil itu tergantung gantungan hati yang telah diukir bersama E & A dan kunci kayu tua mengait di tiang pintu. Simbol-simbol masa lalu kini menemani masa depan mereka.

“Ruang ini akan jadi studio tambahan,” ucap Adit sambil menunjuk dinding yang masih kosong.

 “Tempat kamu bekerja, memamerkan karya, tanpa harus tinggalkan rumah ini.”

Elsa mengangguk. Senyum tersungging di bibirnya lembut. 

“Rumah ini bukan hanya tempat kembali. Rumah ini akan jadi titik awal baru.”

“Aku senang kamu melihatnya begitu,” jawab Adit. Matanya penuh kehangatan.

Langkah mereka keluar ke teras, tempat meja kayu panjang telah disiapkan untuk sarapan sederhana—kopi, roti bakar, dan buah mangga dari kebun samping rumah. 

Orang-orang desa sudah mulai bekerja di sawah, suara alat pertanian bergema lembut di kejauhan. Suasana memberi tahu bahwa hari ini bukan hari biasa: hari ini adalah hari di mana masa lalu dan masa depan berhimpun dalam harmoni.

Kamera diambil, Elsa menyisir halamannya dengan sorotan lensa. 

Ia memilih sudut yang memuat rumah, taman, dan senyum ramah tukang kayu yang hendak pergi. 

“Ini adalah sudutku,” katanya ringan. “Sudut di mana aku memilih tinggal.”

Adit mendekat, menatap dengan bangga. “Dan ini adalah sudut kita.”

Mereka berbagi senyum—tanpa kata besar, hanya kehadiran yang saling memahami.

Beberapa minggu ke depan akan penuh dengan aktivitas: pameran foto dokumentasi restorasi, peluncuran buku kecil karya Elsa, dan acara pembukaan studio di gudang belakang. 

Tapi sebelum semua itu berlangsung, perlu sebuah momen untuk membenamkan diri di antara akar dan dahan yang sekarang tumbuh berdampingan.

Malamnya, pada saat senja menatap dari balik pegunungan, warga berkumpul kembali di halaman rumah. 

Lampion menggantung di dahan-dahan pohon kamboja, musik tradisional mulai mengalun pelan, dan meja panjang penuh dengan makanan lokal. 

Elsa berdiri di sisi meja, membantu memberi piring ke anak-anak dan berbicara ringan dengan ibu-ibu desa yang dulu membantu dalam proses restorasi.

Ketika kesempatan momen sunyi datang, Elsa menyusuri taman ke bagian paling belakang di mana sebuah bangku kayu menghadap sawah.

Cahaya senja memantul di daun-daun, dan udara terasa hangat namun teduh. Adit menyusul, duduk di sampingnya.

“Apakah seperti ini yang kamu bayangkan saat awal datang?” tanya Adit perlahan.

Elsa menoleh. “Lebih indah,” jawabnya. 

“Bukan hanya tentang rumah selesai. Tetapi tentang bagaimana rumah ini memberi ruang pada hati yang ingin pulang dan hati yang baru ingin bertumbuh.”

Adit menatap matanya. “Rumah ini kini punya dua makna: tempat tinggal dan tempat bertumbuh. Seperti hati lama yang akhirnya menemukan ruang baru.”

Elsa mengangguk. “Hati lama yang membawa kenangan masa kecil, ukiran di loteng, tawa bersama sahabat lama. 

Dan ruang baru—yang menampung impian, karya, dan hubungan yang nyata.”

“Kita membangunnya bersama,” kata Adit. “Bukan hanya rumah, tapi kehidupan.”

Dalam keheningan senja itu, suara gamelan bergaung dari jauh, dan anak-anak bermain riang di rerumputan. 

Lampion-lampion bergoyang pelan, membuat siluet rumah tampak hidup. 

Elsa merasa bahwa segala penantian, segala pilihan, hampir semua langkah akhirnya berpuncak di malam ini namun bukan sebagai akhir, melainkan pintu ke fase berikutnya.

Hari berikutnya, studio di gudang belakang dibuka untuk pertama kali. Elsa berdiri di pintu, mengundang tetangga, warga, dan beberapa kolega dari kota untuk melihat pameran kecil: foto-foto proses restorasi, gambar ukiran kayu, potret senja di teras yang dulu menjadi titik perubahan. 

Wajah-wajah yang datang tersenyum, menunjuk detail, mengenang kenangan bersama. “Latar belakangnya mengharukan,” seorang fotografer berkata. “Tapi yang paling kuat adalah bagaimana tempat ini kini menjadi rumah baru.” Elsa membungkuk ringan. “Terima kasih. Judul pameran ini adalah Rumah Baru di Hati Lama.”

Setelah acara, saat lampu dimatikan dan orang mulai pulang, Elsa dan Adit berdiri di tengah ruangan yang kini kosong. 

Sebuah bingkai besar foto mereka berdua berdiri di depan rumah saat hujan sore gambar yang dulu menjadi titik balik mereka. 

Elsa menatap foto itu, lalu menatap Adit. “Foto ini mengingatkan kita bahwa rumah tidak hanya tentang kayu dan atap, tapi tentang orang-orang yang menaruh cintanya di sana.”

Adit mengangguk. “Dan hati yang menemukan rumahnya. Lama, baru, namun tetap utuh.”

Kamera digantung, dan Elsa meraih satu bingkai kecil dari meja gambar mereka dengan sahabat masa kecil, anak-anak desa, tukang kayu dan ukiran yang selesai. 

Ia mengusap bingkai itu pelan. “Hati lama itu sebenarnya tak pernah pergi. 

Ia hanya menunggu ruang baru untuk bertumbuh.”

“Dan sekarang ruang itu sudah ada,” kata Adit sambil mendekat dan menggenggam tangannya.

‘‘Bersama rumah ini, bersama kamu.”

Langit malam menutup hari itu dengan tenang. 

Di halaman, lampion terakhir padam, dan hanya suara alam yang tersisa.

Tapi di dalam, rumah dan hati tetap menyala  tidak gemerlap seperti lampion, tapi hangat dan abadi seperti kayu dan akar.

Elsa menoleh ke jendela loteng, mengingat kenangan tawa, debu, dan langkah-langkah kecil yang membawanya kembali. 

Di dalam hatinya, rumah baru itu telah dirangkul. 

Seperti hati lama yang bersedia membuka pintu, menerima seseorang yang datang, dan mempercayakan dirinya untuk menetap.

Dan bersama Adit, ia tahu bahwa perjalanan bukan berakhir di sini. 

Justru di sini lah kehidupan baru dimulai: rumah yang dibangun bersama, akar yang dijaga bersama, dan impian yang dilangkahkan bersama.

Rumah baru itu bukan pengganti masa lalu; ia adalah kelanjutan yang memungkinkan masa lalu tetap hidup.

Hati lama itu bukan beban; ia adalah tanda bahwa seseorang pernah berharap, pernah pulang, dan kini tinggal untuk bertahan.

Di antara ukiran dan senja, di antara kunci kayu dan gantungan hati, sebuah rumah baru lahir di hati lama yang pernah ragu, kini yakin. 

Bersama rumah itu, bersama seseorang yang mencintainya, dan bersama akar yang tak pernah hilang, kehidupan menapaki sebuah babak yang lebih dalam, lebih nyata, dan lebih penuh cinta.


0 Response to "Setelah Senja Berlabuh Bab 19 Rumah Baru di Hati Lama"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel